Kembali Usai Badai di Negeri Angin

Saya memposting puisi saya terakhir pada 17 Desember 2014 silam. Tulisan tersebut dimuat sebelum saya melahirkan anak pertama saya. Kala itu saya merasa bahagia karena Allah memberi rejeki dan kebahagiaan sungguh melimpah. April 2014 saya menikah dengan Reza Saeful Rachman--teman kuliah, sahabat, kawan diskusi, kritikus, kakak yang agak galak, dan kekasih. Menikah dengannya sungguh menjadi hadiah dari Allah atas segala perjuangan kami yang bagi kami penuh ujian. Sebelum akhirnya meraih restu orang tua, saya sempat dijodohkan dengan beberapa lelaki pilihan ayah, mulai dari anak tetangga hingga seorang lelaki dewasa yang mengaku bekerja di mahkamah agung dan ternyata telah menipu orang tua saya habis-habisan. Belum lagi usaha orang tua menentang kekasih saya kala itu karena persoalan bibit bebet bobot, materi khususnya. Permasalahan hubungan kami tak hanya masalah orang tua, masalah lingkungan perkawanan, pun kondisi psikologis kami yang masih belum matang dan bijaksana. Dari sekian banyak ujian yang kami lewati, setelah 6 tahun membina hubungan dan setelah memohon petunjuk Allah, akhirnya kami pun menikah. Sungguh hadiah tiada terkira. Usai menikah dan pindah rumah, tanpa menunggu lama dan tiada terduga hadiah Allah kembali kami dapatkan. Saya langsung mengandung anak pertama. Kondisi finansial atau mental yang belum matang tidak membuat kami berhenti bersyukur dan menikmati segala hadiah Allah yang melimpah. Hingga saatnya anak saya terlahir pada 24 Desember 2014 dengan nama Ghaisan Aqeela Rachman (Anak laki-laki terbaik yang pintar, rupawan, dan pengasih). Nama yang menjadi doa kami. Hadiah dari Allah saya melahirkan anak yang tampan, shaleh, pintar secara normal spontan dibantu bidan Dessy dan Elis dari RB. Rachmawati. Usai melahirkan saya sempat melewati beberapa ujian kecil dalam menyusui Ghaisan. Namun, dengan kerja keras, kesabaran, dan pantang menyerah, semua bisa terlewati. Ghaisan tumbuh menjadi anak yang lincah, murah senyum, bermata sayu, tak pernah sakit, dan selalu menghibur orang tuanya. Hingga menjelang 6 bulan usianya, tiba-tiba anak saya jatuh sakit. Sempat diare ringan dan langsung diobati oleh seorang dokter Sp.A. ternama di daerah kami. Kondisinya langsung membaik. Esok malamnya tiba-tiba ia muntah, tapi karena kami khawatir dini hari kami membawanya ke RS. Hermina dan ditangani oleh seorang dokter jaga yang menyatakan bahwa anak saya sehat dan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia memberi obat mual untuk anak saya dan kondisi anak saya esoknya memburuk tiba-tiba. Tak berhenti di situ, saya langsung membawanya kembali ke RS. yang sama. 2 jam ditangani di UGD dan sempat akan dimasukan ruang rawat inap, Allah berkata lain. Ghaisan pulang meninggalkan saya, meninggalkan kami selamanya. Saya sempat tak sadarkan diri. Bagai mimpi buruk dan tak bisa bangun lagi. Ingin marah pada Allah, pada dokter-dokter yang memberikan surat kematian dengan diagnosa gagal pernafasan. Saya merasa tak mungkin Ghaisan pergi secepat ini karena tak pernah ada riwayat sakit yang berarti yang dialami. Bahkan beberapa jam sebelum kepergiannya saya masih menyusuinya. Itu menjadi sakit pertama sekaligus terakhir bagi anak saya terkasih. Akhirnya, semua akan kembali dan berpulang pada pemilik-Nya. Doa tak pernah berhenti dipanjatkan tak berhenti diucapkan dipanjatkan untuk anak saya yang mendahului kami semua. 

Kehilangan anak saya menjadi pukulan, ujian, cobaan, sekaligus hidayah. Saya mulai menjalani hari-hari yang berat dengan belajar menjadi pribadi yang lebih baik, begitu pun suami saya. Kami belajar hijrah. Kembali pada Allah adalah satu-satunya cara belajar ikhlas, sabar, dan membuat kami bisa menjalani kehidupan. Di tengah usaha kami bermuhasabah, istiqamah untuk lebih baik, Allah menguji iman dan kesabaran kami. Saya mengalami pendarahan panjang berbulan-bulan karena tidak cocok dengan kb. Padahal dalam kehilangan itu, kami sangat berharap memiliki lagi momongan. Akhirnya, saya pun menjalani terapi suli hormon selama kurang lebih 6 bulan. Suami saya sampai melihat kondisi tubuh saya yang tidak stabil dan ketergantungan dengan jadwal obat-obatan. Belum lagi kondisi mental saya yang memburuk di kantor, di rumah, dan di lingkungan keluarga. Saya semakin sedih jika ada seseorang yang mempertanyakan mengapa saya belum kunjung hamil lagi setelah ditinggal anak saya. 

Waktu berlalu, kami menjalani program kehamilan dr. kandungan. Berdoa dan tak henti berikhtiar, hingga akhirnya Allah menjawab doa-doa kami. Bulan Maret 2016 saya tidak mendapat tamu bulanan. Allah memberi hadiah atas segala kesabaran dan penantian. Saya benar-benar positif mengandung anak kedua yang sehat dengan suara degup jantung yang membuat kami semakin bahagia. Kebahagiaan itu terasa hingga pada 20 Mei 2015 di usia kandungan 11w 5d saya merasakan rembesan ketuban saat bangun tidur. Hasil pemeriksaan dokter saat itu mengabarkan bahwa Allah sangat menyanyangi saya. Allah menguji kesabaran dan keimanan saya. Saya kehilangan anak kedua di usianya hampir mengijak 3 bln. Setelah mencari second opinion, akhirnya esoknya kami mengikhlaskan malaikan kecil kami. Saya menjalani proses kuretase karena janin tidak berkembang.
...bersambung...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI