KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

(Arsip Tahun 2008)


  1. Analisis Puisi Secara Bangun Struktur dan Lapis Makna

Di bawah ini merupakan puisi karya Joko Pinurbo;

Dari Raden Ajeng Kartini

untuk Maria magdalena Pariyem

untuk Linus

Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk

Di bawah cahaya lampu remang-remang

Demam mulai merambat ke leher

Encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang

Dan angin pantai jepara yang kering

Berjingkat pelan di alis yang tenang

Di pelupuknya anak-anak kesunyian

Ingin lelap berbaring, Ingin teduh dan tentram

“Terimalah salam damaiku”

Lewat angin laut yang kencang, dinda.

Resah tengah kucoba

Sepi kuasah dengan pena.

Kaudengarkah suara gamelan

Tak putus-putus dilantunkan

Di pendapa agung yang dijaga

Tiang-tiang perkasa

Hanya untuk mengalunkan

Tembang-tembang lara?

Kaudengarkah juga

Derap kereta di jauhan

Datang melaju ke arah jantungku

Kereta api hitam berderap membelah malam

Melintasi hamparan kelabu perkebunan tebu

Kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula,

di belakangnya perempuan-perempuan pemberani

berduyun-duyun mengusung matahari.

“Perahu-perahu kembara, dinda,

telah kulepas di pantai Jepara.

Berlayarlah tahun-tahunku, mimpi-mimpiku

Ke gugusan hijau pulau-pulau Nusantara

Berlayarlah ke negeri-negeri jauh,

ke Nederland sana.

Seperti kukatakan pada Ny. Abendanon

Dan Stella: ingin rasanya aku

Menembus gerbang cakrawala. ”

Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk

Di bawah cahaya lampu remang-remang.

Tangan masih menyurat di atas kertas.

Hati melemas pada berkas-berkas cemas.

Angin merambat lewat kain dan kebaya.

Dingin merayap hingga sanggulnya.

Dan anak-anak kesunyian bergelayutan

Pada bulu matanya yang sayup,

Yang mengungkai cahaya redup.

“Sering kubayangkan, dinda,

Perempuan-perempuan perkasa

Berbondong-bondong menyunggi matahari,

Menggendong bukit-bukit tandus

Di gugusan pegunungan seribu

Menuju ingar-bingar pasar palawija

Di keheningan langit Jogja.

Kubayangkan pula ladang-ladang karang

Dirambah, disiangi

Kaki-kaki telanjang

Dengan darah sepanjang zaman.”

Kereta api hitam berderap membelah malam,

membangunkan si lelap dari tidur panjang.

Jari masih menulis bersama gerimis,

bersama angin dan kenangan.

Di telapak tangannya perahu-perahu dilayarkan

Ke daratan-daratan hijau, negeri-negeri jauh

Tak terjangkau.

“Badai, dinda,

Badai menyerbu di atas ranjang.

Kaudengarkah kini biduk mimpiku

Sebentar lagi karam

Di laut rembang ?”

Raden Ajeng Katini terkantuk-kantuk

Di bawah cahaya lampu remang-remang.

Dendam membara, encok meruyak pula.

Dan sepasang alap-alap melesat

Dari ujung pena yang luka.

(1997)

Bangun struktur puisi adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual/lahir. Unsur tersebut akan meliputi bunyi, kata, larik atau baris, bait, dan tipografi. Bangun struktur tersebut disebut sebagai salah satu unsur yang dapat diamati secara visual karena dalam puisi juga terdapat unsur-unsur yang hanya dapat ditangkap lewat kepekaan batin dan daya kritis pikiran pembaca. Unsur tersebut pada dasarnya merupakan unsur yang tersembunyi di balik apa yang dapat diamati secara visual.

Unsur yang tersembunyi di balik bangun struktur disebut dengan lapis makna. Unsur lapis makna ini sulit dipahami sebelum memahami bangun strukturnya terebih dahulu. Kajian terhadap bangun struktur dan lapis makna ini merupakan bagian dari analisis pendekatan struktural dan semiotik.

Seperti kita ketahui bahwa rima, lambang, pengiasan, serta tipografi merupakan bagian dari analisis bangun struktur puisi. Dalam puisi Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem di atas, rima menjadi suatu hal yang dapat kita lihat bentuknya secara jelas. Rima adalah bunyi akhir yang berselang/berulang, baik dalam larik puisi maupun pada akhir larik-larik puisi. Misalnya perulangan bunyi vokal (a) seperti tampak pada larik “di bawah cahaya lampu remang-remang”. Perulangan bunyi ini disebut asonansi. Selain itu juga terdapat perulangan bunyi konsonan (s) seperti tampak pada larik “hati melemas pada berkas-berkas cemas”. Perulangan bunyi konsonan disebut aliterasi. Perulangan bunyi di atas berlaku di antara kata-kata dalam satu larik, dan inilah yang disebut rima dalam.

Fungsi dari rima itu sendiri yakni menciptakan nilai keindahan lewat unsur musikalitas atau kemerduan, menuansakan makna tertentu sebagai perwujudan rasa dan sikap penyairnya, dan menciptakan suasana tertentu sebagai perwujudan suasana batin dan sikap penyairnya. Hal tersebut dapat dilihat dari terciptanya sebuah kegelisahan yang kuat dalam barisan rima dalam larik-larik puisi Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem oleh Joko Pinurbo, seperti dalam larik tangan masih menyurat di atas kertas/hati melemas pada berkas-berkas cemas/.

Seandainya kita penggal secara terpisah dalam bait ketiga puisi Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem, maka akan kita jumpai bentuk (1)kereta, (2)api, (3)hitam, (4)ber-, (5)derap, (6)mem-, (7)belah, (8)malam, (9)me-i, (10)lintas, (11)hampar, (12)-an, (13)kelabu, (14)per-an, (15)kebun, (16)tebu, (17)ke-an, (18)sedih, (19)di-, (20)angkut, (21)ke, (22)pabrik-pabrik, (23)di, (24)belakang, (25)-nya, (26)perempuan-perempuan, (27)­pe-, (28)berani, (29)ber-, (30)duyun-duyun, (31)meN-, (32)usung, dan (33)matahari.Bentuk ke dan di sebagai kata depan, dan bentuk meN-, ber-, per-an, di-, pe-, serta ke-an sebagai imbuhan, keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari kata-kata yang mengikutinya. Bentuk demikian umumnya hanya mengandung makna denotatif atau makna yang bersifat gramatikal. Cara dan paparan di atas ini merupakan bagian dari pengidentifikasian puisi untuk memahami pengiasan di dalamnya.

Pengiasan sendiri adalah pengimajian dengan menggunakan kata-kata kias sehingga menimbulkan makna yang lebih konkret dan cermat. Hal tersebut bisa kita lihat setelah membaca berulang kali dan mengidentifikasi, yang salah satunya dengan cara memenggal terpisah seperti di atas.

Banyak keanehan dijumpai dalam pemilihan diksi pada penggunaan diksi dalam setiap lariknya, seperti dalam larik /kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula,/di belakangnya perempuan-perempuan pemberani/berduyun-duyun mengusung matahari/, karena tidak mungkin ada kesedihan yang kedudukannya adjektive diangkut ke pabrik-pabrik. Sama halnya dengan perempuan pemberani yang berduyun-duyun mengusung matahari. Oleh karena itu, diksi-diksi terebut memiliki makna konotatif. Dalam hal ini, kesedihan diibaratkan dengan perasaan yang dialami perempuan yang bekerja mengangkut sesuatu ke pabrik-pabrik gula. Sedangkan matahari merupakan simbol dari kehidupan yang berarti perempuan pemberani berduyun-duyun mengusung atau mengangkut sesuatu demi berlangsungnya kehidupan.

Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa ragam kata dalam bait tersebut meliputi (1) lambang, baik berupa kata depan, kata tugas, maupun kata berimbuhan, dan (2) simbol, dalam hal ini adalah simbolik natural. Selain ragam kata, puisi Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem juga memiliki tipografi mendekati bentuk persegi panjang dengan bagian kalimat langsung yang sedikit lebih menjorok ke dalam. Tipografi adalah cara penulisan suatu puisi sehingga menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual. Selain menampilkan aspek artistik visual, tipografi juga menciptakan suasana makna dan suasana tertentu serta berperan dalam menunjukkan adanya oncatan gagasan serta memperjelas adanya satuan-satuan makna tertentu yang ingin dikemukakan penyairnya.

Majas juga merupakan sesuatu yang sulit dipisahkan dalam puisi. Hal ini terlihat dalam puisi Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem. Majas personifikasi dapat kita jumpai pada larik Encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang, ...angin pantai jepara...berjingkat pelan di alis..., ...pendapa agung yang dijaga tiang-tiang perkasa, kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula, berlayarlah tahun-tahunku, mimpi-mimpiku, angin merambat..., dingin merayap..., dan lainnya. Majas hiperbola juga terdapat pada larik berduyun-duyun mengusung matahari, ingin rasanya aku menembus gerbang cakrawala, dan darah sepanjang zaman.

Setelah mengkaji struktur, penganalisisan selanjutnya adalah mengkaji simbol makna(semiotis) terhadap puisi ini. Dari segi pemberian judul, puisi “Dari Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem” ini, seolah merupakan pesan yang dikirim oleh seorang tokoh gerakan perempuan kepada seorang wanita lainnya yang usianya lebih muda dari dirinya.

Simbol makna untuk bait pertama diawali dengan mengkaji empat larik pertama yaitu /Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk/ Di bawah cahaya lampu remang-remang/ Demam mulai merambat ke leher/ Encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang/ merupakan penggambaran yang digambarkan pengarang untuk menggambarkan setting tempat Kartini serta penggambaran tokoh Kartini yaitu seorang wanita yang sudah tua dengan gejala-gejala kelelahan yang dirasakannya. Empat larik berikutnya masih pada bait pertama /Dan angin pantai Jepara yang kering /Berjingkat pelan di alis yang tenang/ Di pelupuknya anak-anak kesunyian ingin lelap berbaring/ ingin teduh dan tentram/ merupakan simbol penggambaran kekuatan dan keperkasaan yang tersembunyi dalam kelembutan sosok Raden Ajeng Kartini.

Bait ke-dua dalam puisi ini berupa beberapa kumpulan larik yang berupa ungkapan lisan, yakni pesan dari Raden Ajeng Kartini kepada Maria Magdalena Pariyem. / “Terimalah salam damaiku /Lewat angin laut yang kencang, dinda. / merupakan salam pembuka yang bergelora yang disampaikan Raden Ajeng Kartini sebelum mengawali isi pesannya kepada Maria Magdalena Pariyem. /Resah tengah kucoba/ Sepi kuasah dengan pena./ merupakan perasaan batin Raden Ajeng Kartini./Kaudengarkah suara gamelan/Tak putus-putus dilantunkan/Di pendapa agung yang dijaga/Tiang-tiang perkasa/Hanya untuk mengalunkan /Tembang-tembang lara?/Kaudengarkah juga/Derap kereta di jauhan/Datang melaju ke arah jantungku/ merupakan pesan yang diungkapkan Raden Ajeng Kartini dimana selama ini laki-laki selalu dianggap sebagai sosok yang paling kuat dan berkuasa dan wanita terkadang menderita dibawah dominasi laki-laki, dan Raden Ajeng Kartini pun merasakan hal itu pun kerap terjadi pula pada dirinya.

Bait ke-tiga yaitu /Kereta api hitam berderap membelah malam/Melintasi hamparan kelabu perkebunan tebu/ merupakan penggambaran kesedihan yang selalu mengusik tenangnya hidup. Kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula,/ merupakan perumpamaan kesedihan seorang wanita yang selalu hanya bisa disimpan dalam hati atau batinnya./ di belakangnya perempuan-perempuan pemberani/berduyun-duyun mengusung matahari./ kedua larik tersebut merupakan pengungkapan meskipun hanya bisa menyimpan kesedihan atau luka tersebut dalam hati akan tetapi para wanita selalu siap penuh rasa pantang menyerah dalam mengarungi terjalnya kahidupan.

Bait ke-empat hampir sama dengan bait ke-dua yaitu sama-sama merupakan ungkapan yang diungkapkan dengan bahasa lisan./ “Perahu-perahu kembara, dinda,/telah kulepas di pantai Jepara/ Berlayarlah tahun-tahunku, mimpi-mimpiku/Ke gugusan hijau pulau-pulau Nusantara/Berlayarlah ke negeri-negeri jauh,/ke Nederland sana./ merupakan pengungkapan Raden Ajeng Kartini bahwa ia amat berharap impian-impiannya dan harapan-harapannya dapat didengar dan mendapatkan dukungan baik dari wanita pribumi(jawa), wanita luar Jawa (gugusan hijau pulau-pulau Nusantara), serta wanita dari lintas negara (Nederland=Belanda). /Seperti kukatakan pada Ny. Abendanon/Dan Stella: ingin rasanya aku/Menembus gerbang cakrawala.”/ merupakan penguatan pernyataan sebelumnya, yakni bahwa beliau(R.A Kartini) ingin harapan-harapannya tentang persamaan hak antara wanita dengan laki-laki dapat terwujud. R.A Kartini ingin meruntuhkan tembok-tembok ketabuan yang selama ini dilekatkan masyarakat, beliau ingin menembus batas-batas yang “dipasungkan“ laki-laki selama ini terhadap kaum wanita.

Bait ke-lima / Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk/Di bawah cahaya lampu remang-remang./ pada bait ini sebagian merupakan pengulangan bait pertama sebagai penguat setting dan keadaan yang digambarkan pengarang dalam sajak ini. Sedangkan larik /Tangan masih menyurat di atas kertas./Hati melemas pada berkas-berkas cemas./Angin merambat lewat kain dan kebaya./Dingin merayap hingga sanggulnya./Dan anak-anak kesunyian bergelayutan/Pada bulu matanya yang sayup,/Yang mengungkai cahaya redup./ merupakan penggambaran Raden Ajeng Kartini masih berharap dengan impian-impiannya akan tetapi kini seolah ada keadaan dimana dirinya cemas akan tercapai tidaknya impiannya tersebut.

Bait ke-enam masih hampir sama seperti bait-bait genap sebelumnya, yaitu menggunakan pengungkapan secara lisan. Larik /“Sering kubayangkan, dinda,//Perempuan-perempuan perkasa/Berbondong-bondong menyunggi matahari,/Menggendong bukit-bukit tandus/Di gugusan pegunungan seribu/Menuju ingar-bingar pasar palawija/ Di keheningan langit Jogja./Kubayangkan pula ladang-ladang karang/ Dirambah, disiangi/ Kaki-kaki telanjang/ Dengan darah sepanjang zaman.”/ merupakan curahan isi hati seorang Raden Ajeng Kartini dalam pesannya kepada Maria Magdalena Pariyem, yang berisi harapan-harapannya tentang bagaimana nasib wanita kelak dalam impiannya. Impiannya tentang adanya peran wanita ketika turut berandil dalam usaha menjalani hidup. Hidup yang awalanya sulit. Dan semoga dengan adanya upaya ini, setidaknya para wanita dapat membuat kehidupannya dan masyarakat menjadi lebih baik dengan segala pengorbanannya.

Bait ke-tujuh, /Kereta api hitam berderap membelah malam,/membangunkan si lelap dari tidur panjang./Jari masih menulis bersama gerimis,/bersama angin dan kenangan./Di telapak tangannya perahu-perahu dilayarkan/Ke daratan-daratan hijau, negeri-negeri jauh/Tak terjangkau./ secara makna tidak jauh berbeda dengan bait ke -empat, yakni masih berkutat dengan impian R.A Kartini tentang harapannya yang kelak melanglang buana hingga didukung semua wanita di seluruh pelosok dunia, bahkan sampai ke sebuah tempat dimana tempat itu tak terjangkau olehnya. Hanya saja dalam bait ini ada penguatan semangat dan pembulatan tekad yang amat serius. Ini dapat dilihat pada larik /membangunkan si lelap dari tidur panjang./ dimana pada larik ini amat dirasakan penguatan semangat Raden Ajeng Kartini tentang semangat emansipasinya, walaupun ia masih berkutat dengan kesedihan, keresahan, dan waktu.

Bait ke-delapan yaitu, /“Badai, dinda,/Badai menyerbu di atas ranjang./Kaudengarkah kini biduk mimpiku/Sebentar lagi karam/Di laut rembang?”/ merupakan puncak keresahan dan kecemasan R.A Kartini tentang segala biduk impiannya yang hampir hilang karena tak kunjung menemukan keadaan emansipasi yang ideal bagi seluruh wanita.

Bait terakhir, /Raden Ajeng Katini terkantuk-kantuk/Di bawah cahaya lampu remang-remang./Dendam membara, encok meruyak pula./Dan sepasang alap-alap melesat/Dari ujung pena yang luka/ merupakan penutup sajak ini dimana Raden Ajeng Kartini merasakan kegagalan akan cita-citanya. Akan tetapi ada sedikit harapan yang amat diharapkan R.A Kartini, yaitu harapan yang ditujukan kepada Maria Magdalena Pariyem. Harapan untuk meneruskan cita-citanya.

Usai menganalisis bangun struktur puisi dan mengtahui simbol-simbolnya, hal selanjutnya yaitu menganalisis lapis makna dalam dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem. Sehingga dihasilkan kesimpulan seperti di bawah ini;

  1. Raden Ajeng Kartini disimbolkan sebagai sosok perempuan yang memiliki semangat kuat untuk memperjuangkan hak-hak dan kedudukan perempuan yang juga ingin disampaikan pada sosok Maria Magdalena yang seorang penyabar dan Pariyem yang merupakan sosok perempuan Jawa yang tangguh.
  2. /kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula,/di belakangnya perempuan-perempuan pemberani/berduyun-duyun mengusung matahari/, memiliki makna bahwa perempuan yang digambarkan penyair merupakan sosok yang pemberani dan kuat karena meskipun penuh dengan kesedihan, ia tetap bekerja demi kelangsungan hidup.
  3. pada larik /berlayarlah ke negeri-negeri jauh/ merupakan semangat yang diangkat penyair bagi para perempuan agar mampu berjuang lebih giat dalam mengarungi kehidupan.
  4. /Perempuan-perempuan perkasa/ Berbondong-bondong menyunggi matahari,/ Menggendong bukit-bukit tandus/, merupakan simbol perjuangan perempuan yang bekerja keras meskipun penuh penderitaan.
  5. Jogja merupakan seting tempat terjadinya peristiwa dalam puisi seperti pada larik /di keheningan langit Jogja/.
  6. / Badai menyerbu di atas ranjang./ Kaudengarkah kini biduk mimpiku/ Sebentar lagi karam/ menjadi simbol pengakuan terhadap sosok keperkasaan perempuan oleh laki-laki.

  1. Pendekatan Sastra Feminisme dalam Analisis Puisi Joko Pinurbo

Melakukan kajian puisi struktural dan semiotik seperti yang telah kita lakukan merupakan kajian dasar atau awal sebelum kita menganalisis puisi berjudul “Dari Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem” karya Joko Pinurbo dengan pendekatan sastra feminisme.

Culler (1983) menyebut sastra feminisme sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Sedangkan Yoder (1987) mengatakan bahwa kritik sastra feminis itu bukan berarti pengkritik perempuan, atau kritik tentang perempuan, atau kritik tentang pengarang perempuan; arti sederhana kritik sastra feminis adalah pengkritik memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya sastra dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar mempengaruhi situasi karang mengarang.

Prasangka gender seringkali ditimbulkan oleh anggapan yang salah kaprah terhadap jenis kelamin dan gender. Di masyarakat selama ini terjadi peneguhan pemahaman yang tidak pada tempatnya mengenai gender. Apa yang disebut gender karena dikonstruksi secara sosial budaya dianggap sebagai kodrat Tuhan (Fakih, 1997:10-11). Gender itu bukanlah ciptaan Tuhan, tetapi hanyalah ciptaan masyarakat. Masyarakat berprasangka bahwa di balik jenis kelamin ada gender dan ternyata prasangka itu berbeda pada masyarakat di suatu tempat dengan masyarakat ditempat lain. Sebagai contoh dalam puisi berjudul “Dari Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem” karya Joko Pinurbo, sangat kental budaya dan prasangka terhadap gender khususnya perempuan yang berada di daerah Jogja. Hal ini dapat dijumpai dalam bait di bawah ini;

“Sering kubayangkan, dinda,

Perempuan-perempuan perkasa

Berbondong-bondong menyunggi matahari,

Menggendong bukit-bukit tandus

Di gugusan pegunungan seribu

Menuju ingar-bingar pasar palawija

Di keheningan langit Jogja.

Kubayangkan pula ladang-ladang karang

Dirambah, disiangi

Kaki-kaki telanjang

Dengan darah sepanjang zaman.”

Joko Pinurbo mengungkapkan adanya kekuatan gender perempuan yang telihat dalam larik kedua dan ketiga yakni, /Perempuan-perempuan perkasa/Berbondong-bondong menyunggi matahari/ yang berarti bahwa digambarkannya sosok perempuan yang memiliki kekuatan yang tidak kalah dibandingkan dengan kaum laki-laki pada umumnya. Sedangkan Jogja sebagai setting tempat terjadinya peristiwa, terlihat pada larik ketujuh yaitu, /di keheningan langit Jogja/. Joko sengaja mengambil Jogja sebagai latar peristiwa dalam puisinya disebabkan ada banyak cerita dan kisah mengenai kekuatan, kesabaran, keuletan, dan sosok unggul seorang perempuan. Hal tersebut tergambar pada kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Jogja di mana para pekerja perempuan turut mengambil peran.

Pekerja perempuan Jogja dan sosok perempuan yang dieksploitasi diungkapkan Joko dalam larik ketiga, keempat, dan kelima bait ketiga yaitu, /kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula/di belakangnya perempuan-perempuan pemberani/berduyun-duyun mengusung matahari/. Selain dari itu, dalam pengangkatan judul pun, Joko menempatkan dirinya sebagai sosok yang amat mengagumi perempuan, secara khusus ia mengungkap wajah Raden Ajeng Kartini yang memiliki semangat besar dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Semangat itulah yang pula ingin disampaikan pada sosok Maria Magdalena yang memiliki kesabaran kuat dalam menghadapi kehidupan, sama halnya dengan Pariyem –sosok perempuan Jogja pekerja keras.

Selain mengungkapkan perempuan dan kedudukannya, Joko pun menggambarkan sistem pathriarki, dimana laki-laki memiliki kedudukan di atas wanita, yakni pada bait kedua /Kaudengarkah suara gamelan/ Tak putus-putus dilantunkan/ Di pendapa agung yang dijaga/ Tiang-tiang perkasa/ Hanya untuk mengalunkan/ Tembang-tembang lara?/. Pada larik /Di pendapa agung yang dijaga/ Tiang-tiang perkasa/, laki-laki berperan sebagai penjaga kamum perempuan. Laki-laki digambarkan begitu perkasa.

Pucak kekaguman Joko terhadap sosok perempuan, ia paparkan dalam bait kedelapan yaitu;

“Badai, dinda,

Badai menyerbu di atas ranjang.

Kaudengarkah kini biduk mimpiku

Sebentar lagi karam

Di laut rembang ?”

dimana Joko seolah membuat pengakuan bahwa dirinya yang notabene adalah laki-laki “dikaramkam” mimpi-mimpinya oleh keperkasaan sosok perempuan. Bila kita cermati secara nyata dan mendalam, keadaan yang digambarkan Joko merupakan potret nyata kehidupan zaman sekarang. Hal tersebutlah yang menjadi dasar pembahasan sastra feminis, yakni kedudukan gender.

Puisi Dari Raden Ajeng Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem karya Joko Pinurbo merupakan sebuah puisi yang dibuat sebagai respon atas puisi karya Linus Suryadi A.G. berjudul Pengakuan Pariyem. Kedua puisi tersebut masih bercerita tentang kekuatan dan perjuangan perempuan dalam keperkasaannya menjalani hidup.



C. Kesimpulan

Gejolak Feminisme telah membawa aroma baru dalam dunia kesusastraan indonesia. secara terkonsep, feminisme telah mempengaruhi dunia sastra Indonesia. Baik dalam proses pengarangan, pengapresiasian, maupun pembacaan. Bagitu pula yang dialami Joko Pinurbo, seorang penyajak asal Bogor yang kini hidup di Yogyakarta. Dalam salah satu puisinya, Joko mengagumi sosok perempuan karena kekuatannya, keperkasaannya, dan kesabarannya yang tak kalah bila dibandingkan dengan kaum adam.

Budaya dan prasangka terhadap gender khususnya perempuan yang berada di daerah Jogja sangat kental dalam puisi “Dari Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem” karya Joko Pinurbo ini. Seperti dalam larik /Perempuan-perempuan perkasa/Berbondong-bondong menyunggi matahari/ yang berarti bahwa digambarkannya sosok perempuan yang memiliki kekuatan yang tidak kalah dibandingkan dengan kaum laki-laki pada umumnya.

Hasil analisis juga membuktikan bukan saja mengenai kedudukan perempuan yang dikandung puisinya Joko ini, juga mengenai sastra feminis yang bisa dijumpai dalam pengarang ataupun penyair laki-laki. Selain daripada itu, berikut ini beberapa hasil analisis lain:

Bangun struktur

Secara bangun struktur, puisi “Dari Kartini untuk Maria Magdalena Pariyem” karya Joko Pinurbo ini memiliki struktur seprti puisi pada umumnya. Terdapat rima asonansi dan aliterasi yang sangat terasa di beberapa larik. Dengan rima seperti itu, kegelisahan menjadi semakin kuat dirasakan. Diksi yang digunakan pengarang pun sebagian banyak merupakan konotasi sehingga mengandung beberapa majas, seperti hiperbola dan personifikasi.

Lapis makna

Secara analisis lapis makna, puisi tersebut memiliki banyak simbol mengenai perempuan dan laki-laki, khususnya perempuan Jawa sebagaimana digambarkan dalam setting peristiwanya.

Simbol perempuan

Simbol dalam analisis lapis makna, diantaranya: sosok perempuan yang digambarkan memiliki kekuatan dan kesabaran yang besar, rasa lelah dan penderitaan perempuan, semangat para perempuan, hingga simbol laki-laki dalam sistem pathriarki.

Representasi kedudukan perempuan

Setelah dianalisis secara bangun struktur dan lapis makna, dapat dijelaskan bahwa kedudukan perempuan dalam puisi digambarkan sebagai sosok yang kuat, perkasa, dan sabar, meskipun keberadaannya seringkali dieksploitasi oleh kaum laki-laki. Setting perempuan Jawa secara jelas digambarkan melalui kekuatan dan kelembutannya. Keperkasaan perempuanlah yang kini menjadi dasar feminisme yang berkembang di Indonesia dan di dunia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI