Momentum Kembalinya Sajak-sajak Protes
oleh Reza Saeful Rachman
“Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah atau
Jadi kuli di negri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah”.
(Negeri Para Bedebah- Adie Massardie)
Permasalahan sosio-politik sudah sejak lama menjadi bahan perhatian seorang penyair ketika menulis sebuah karya. Kebobrokan negara yang dihasilkan oleh kesewenangan kekuasaan, tindakan korupsi, dan kesemena-menaan parlemen masih menjadi tema sentral. Misalnya dalam sejarah sastra Soviet muncul sajak-sajak dari para penyair yang menjadikan isu-isu sosial-politik sebagai landasan karya sastranya, seperti Nekrasov dan Pushkin, di Jerman lahir sajak-sajak seorang Hans Magnus Enzensberger, dan di Amerika Latin lahirlah sajak-sajak seorang Pablo Neruda.
Nampaknya permasalahan sosial sudah dianggap sebagai sebagai permasalahan yang sangat esensial. Konflik-konflik sosial dianggap sebuah simbol kebobrokan dan bagaikan sebuah borok. Para penyair menganggap itu sebagai sebuah darah nanah yang jangan ditutup-tutupi dan harus dikuak, demi kesembuhan bangsa tentunya. Mereka—para penyair—berpegang teguh pada salah satu fungsi seni yaitu untuk memproduksi kehidupan dan melakukan penilaian atas gejala-gejalanya (Dobrolyubov dalam Plekhanov, 2006: 2). Penyair melalui ketajaman indranya menangkap gejala-gejala sosial yang selama ini dianggap tabu untuk disuarakan. Saya ingat bagaimana seorang Rendra menciptakan sebuah Sajak Lisong yang oleh seorang A. Teew dinobatkan sebagai pamplet protes untuk bagi dunia pendidikan Indonesia pada masa orde baru. (Teew, 1983: 119). sajak tersebut juga merupakan semacam kritik bagi rezim orde baru yang terlalu barat sentris dan terlalu mengecam protes-protes sosial. Selain itu muncul sosok seorang Wiji Thukul, seorang guru yang berdarah-darah membela nasib kaum miskin dan rela berkoar-koar dari satu demonstrasi ke demontrasi lain meski ia sadar bahwa setiap kemana ia melangkah, moncong pistol atau penjara orde baru menganga untuk merajamnya.
Kemunculan sajak-sajak yang dihasilkan kedua penyair tersebut sangatlah manusiawi. Mengingat pada waktu itu, kesemena-menaan dan keborokan-keborokan negara begitu nyata terasa namun sangat sulit diungkapkan. Tindakan represif rezim penguasa pada waktu itu cukup membuat ketar-ketir para seniman untuk menyampaikan gagasannya. Penangkapan terhadap Rendra dan penculikan terhadap seorang Wiji Thukul menjadi catatan kelam dunia berkesenian di Indonesia. Akan tetapi dibalik kemuraman itu terdapat sedikit cahaya terang, masyarakat Indonesia menjadi lebih berani dalam bersikap setelah kemunculan sajak-sajak kedua penyair tersebut.
Tapi itu hanya sebuah catatan indah masa lalu karena kedua penyair ini kini telah meninggalkan dunia (Rendra wafat tahun 2009 sedangkan Wiji Thukul telah menghilang sajak lama dan ada kabar bahwa ia telah wafat dikebiri rezim orde baru). Sastra Indonesia berduka dan bertanya-tanya, oleh siapa kelak sajak protes semacam itu akan digelorakan kembali. Situasi sosio-politik Indonesia kian hari kian bobrok, ditambah kondisi perpuisian Indonesia yang saat ini lebih memilih tema individu sentris—penulis hanya menemukan sosok Agus R. Sardjono, dan Binhad Nurrahmat yang sajaknya lebih fokus bertema sosio-politik.
Sebelas tahun paska reformasi, bangsa Indonesia kembali dirundung kacau balaunya situasi sosio-politik. Selain permasalahan korupsi yang makin meroket, penindasan rakyat kecil yang makin tak terkendali, dan sikap buruk para wakil rakyat, kini permasalahan lebih kompleks muncul yaitu permasalahan penegakan hukum.
Sudah jelas permasalahan ini bukanlah hal yang biasa dan dapat diluputkan begitu saja. Kebejatan-kebejatan harus dikuak. Meski harus berdarah-darah, dan dalam sensor penguasa kebenaran harus ditegakan. Akan tetapi, seketika para penghuni dunia sastra agak mengerutkan dahi. Hati kecil mereka bertanya-tanya, akankah muncul kembali sajak-sajak protes terhadap situasi bobrok negara ini? Setidaknya pertanyaan itu kini sudak agak terjawab.
Kemunculan sajak-sajak antara lain “Sajak Perlawanan Kaum Cicak” karya Tulus Wijanarko, “Negeri Para Bedebah” karya Adi Massardhi, dan “Anatomi Wakil Rakyat 2009” karya Asep Sambodja di dalam dunia maya yaitu lewat jejaring puisiIndonesiamodern.blogspot.com, telah membukakan kembali harapan masyarakat sastra Indonesia bahwa perlawanan lewat sajak belum hilang. Meskipun muncul hanya dalam media maya—sangat disayangkan tidak muncul dalam media cetak—ketiga sajak tersebut sudah cukup berhasil merepresentasikan gejala-gejala carut marut situasi sosiopolitik Indonesia.
Sajak Perlawanan Kaum Cicak
Kami tahu tanganmu mencengkram gari
Karena kalian adalah bandit sejati
Kami tahu saku kalian tak pernah kering
Karena kalian sekumpulan para maling
Kami mafhum kalian memilih menjadi bebal
Sebab melulu sadar pangkat kalian hanyalah sekedar begundal
Kami tahu kalian berusaha terlihat kuat menendang-nendang
Demikianlah takdir para pecundang
Kami mengerti otak kalian seperti robot
Meski demikian kalian sungguh-sungguh gemar berkomplot
Kami sangat terang kenapa kalian memang hanyalah gerombolan budak
Yang meringkuk jeri di mantel sendiri
Kami tahu kenapa kalian gemetar ketakutan
Dan tanganmu menggapai-gapai sangsi ke udara
Karena kalian tahu
Kami tidak takut kepadamu
Kami tidak takut kepadamu
Dan akan melawan tak henti-henti
Seperti itulah Sajak Perlawanan Kaum Cicak karya Tulus Wijanarko. Berupa sajak retorik yang saya rasa dalam pemilihan kosakatanya mirip yang dipergunakan dalam sajak-sajak pamplet Rendra. Mungkin ini disengaja agar semua lapisan masyarakat dapat memahami juga menafsirkannya. Tulus melalui kakafoni dalam sajakya, menggambarkan aku lirik—dalam sajak ini “kami—sebagai kaum yang berani melawan kesewenangan koruptor– disimbolkan lewat -mu—dan mengundang pembaca untuk melihat sebuah situasi yang gelisah.
Sangat mudah dijelaskan mengapa tulus menulis sajak seperti ini. Tulus yang seorang penyair juga merasakan kegelisahan-kegelisan yang diakibatkan oleh oknum-oknum—koruptor—yang telah mengobok-obok kesejahteraan yang seharusnya menjadi milik warga negara—terutama kaum miskin—lalu memanifestasikannya dalam sebuah sajak. Sajak ini merupakan sajak perlawanan kaum “cicak” terhadap kaum “buaya” –beberapa kuli media menyamakan koruptor dan mafia peradilan sebagai buaya. Sebagai penutup pada sajaknya, tulus menggunakan repetisi larik /Kami tidak takut kepadamu/ yang terus diulang sebagai sarana penyampaian maksud—atau penggelora semangat perlawanan—dan menjadi sebuah klimaks dari sebuah sajak perlawanan. Sebagai tanda bahwa perjuangan melawan koruptor maupun mafia peradilan hukum tak akan pernah mati. Selain sajak Tulus Wijanarko, terdapat sajak yang berjudul Negeri Para Bedebah karya Adie Massardi yang juga mencerminkan bagaimana situasi sosiopolitik negara kita.
Negeri Para Bedebah
Ada satu negeri yang dihuni para bedebah
Lautnya pernah dibelah tongkat musa
Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah
Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala
Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?
Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah
Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah atau
Jadi kuli di negri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah
Di negeri para bedebah orang baik dan bersih dianggap salah
Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan
Menipu rakyat dengan pemilu jadi lumrah
Karena hanya penguasa yang boleh marah
Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah
Maka bila negerimu dikuasai para bedebah
Jangan tergesa-gesa mengadu pada allah
Karena tuhan tak akan mengubah suatu kaum
kecuali kaum itu sendiri mengubahnya
maka bila negerimu dikuasai para bedebah
usirlah mereka dengan revolusi
bila tak mampu dengan revolusi,
dengan demonstrasi
bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi
tapi itu selemah-lemahnya perjuangan
Kekuatan sajak ini adalah bagaimana adi massardie melukiskan permasalahan sosiopolitik negara secara lebih tenang tanpa menghilangkan gambaran gejala-gejala kebobrokan bangsa. Tiap larik diakhiri paduan konsonan dan vokal sehingga terdengar mendesah untuk menyiratkan sebuah perasaan sesak. Seolah ada perasaan sesak ketika hendak menggambarkan sebuah negeri yang kaya akan ironi.
Sajak ini menceritakan bagaimana sebuah negeri yang dianalogikan negeri para bedebah yang terdapat ketidakadilan sosial di dalamnya. Dalam larik: /Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah?/Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah/Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah atau/Jadi kuli di negri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah/, dapat kita lihat bagaimana sebuah ketidakadilan terlukis dan bagaimana situasi yang paradoksal antara penguasa dan rakyatnya. Saya kira itu inti yang hendak disampaikan dalam sajak ini.
Satu lagi yang menarik dari sajak ini adalah diam-diam diujung sajaknya sang penyair menawarkan opsi-opsi perlawanan namun pada akhirnya adi tetap menghadapkan pilihan itu kepada pola perlawanan kelas yang klasik—revolusi dan demonstrasi. Dalam larik: /usirlah mereka dengan revolusi/bila tak mampu dengan revolusi,/dengan demonstrasi/bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi/tapi itu selemah-lemahnya perjuangan/, penyair mengajak para pembaca merenungi kembali arti perjuangan melawan kesewenang-wenangan dan memberikan sebuah pandangan alternatif perlawanan yaitu dengan sebuah perubahan total. Sajak terakhir yang merupakan klimaks dari serentetan sajak protes ini adalah sajak dari Asep Sambodja, yaitu Anatomi Wakil Rakyat 2009.
Anatomi Wakil Rakyat 2009
Inilah negeri demokrasi yang paling wangi di planet ini
Aku sepi sendiri melihat bedak dan parfum merias senayan, senayan kita
Terbayang-bayang undang-undang menjadi skenario pertunjukan
Drama paling menyedihkan
Wakil-wakil rakyat kita pandai merias diri lalu bermake-up
Produk partai-partai haus sensasi
Partai politik yang memanfaatkan badut-badut untuk menghibur anak TK
Ini lah negeri demokrasi yang belajar dari negeri Hollywood
Koboi-koboi duduk diatas bangku kekuasaan
Artis-artis sinetron menjadikan legislatif sebagai panggung sandiwara
Yang penuh bedak dan gincu produk partai-partai gincu politik
Yang melecehkan akal sehat
Dan kita siap tertawa dalam duka karena
Pelawak-pelawak akan belajar serius persoalan politik
Dan politikus-politikus produk parpol gincu
Akan belajar serius jadi pelawak
Ha ha ha
Tidak lucu!
Sepentas sajak ini seperti sebuah sajak main-main, akan tetapi itu bukan sebuah main-main. Justru yang penyair soroti disini adalah ironi-ironi tokoh politik bangsa yang sudah sangat konyol. Asep menggambarkan bagaimana kondisi bobroknya negara disebabkan parlemen kita sudah sangat salah urus. Parlemen kita diurus oleh orang-orang yang kurang berkompeten dan yang berkompeten malah bersikap seperti yang tidak berkompeten, sehingga terkesan hanya main-main. Permasalahan ini tergambar dalam larik: /Dan kita siap tertawa dalam duka karena/Pelawak-pelawak akan belajar serius persoalan politik/Dan politikus-politikus produk parpol gincu /Akan belajar serius jadi pelawak/. Sungguh sebuah paradoks pengambilan sikap yang pada akhirnya mengerdilkan dan merugikan rakyat. Betapa ironisnya kita diurus oleh kaum yang tidak mengerti apa yang harus mereka urus.
Setelah membaca sajak asep sambodja tersebut saya teringat pendapat Alamarhum Wan Anwar bahwa, “Dalam banyak kasus praktek sosial-politik di negeri ini seringkali terjadi sebaliknya: modal kultural kalah saing oleh modal sosial dan terutama modal ekonomi” (majalah sastra Horison Nopember 2009).
Kemunculan ketiga sajak diatas dapat kita sebut sebagai sebuah proses jejak rekam keadaan sosiopolitik bangsa kita. Sajak Tulus Wijanarko isinya mencermati kelakuan para koruptor dan mafia peradilan, sajak Adi Massardie lebih ke mengungkap kekurangajran pemerintah, dan Asep Aambodja lebih mengkritisi keparlemenannya. Terdapat sebuah benang merah yang dapat ditarik dari ketiga sajak tersbut yaitu ketidakteraturan serta kebobrokan. Dalam hemat saya, para penyair telah berhasil dalam menangkap gejala-gejala kesemrawutan sosiopolitik lalu merepresentasikannya. Kemunculan ketiga sajak tersebut juga dapat kita anggap sebagai momentum kembalinya sajak-sajak protes dalam khazanah dunia perpuisian Indonesia. Setidaknya, meskipun kemunculan sajak-sajak tersebut tak sefenomenal sajak pamplet Rendra atau sajak protes seorang Wiji Thukul, akan tetapi kehadiran ketiga sajak tersebut cukup menawar rasa rindu kita terhadap kemunculan kembali sajak-sajak protes terhadap kebobrokan situasi sosio-politik di Indonesia. Semoga lewat sajak-sajak tersebut akan dihasilkan pemikiran-pemikiran yang berani dan revolusioner, karena sajak-sajak tersebut adalah sajak-sajak yang amat jujur. Sajak-sajak yang berawal dari kegelisahan rakyat, ditulis oleh rakyat, dan didedikasikan untuk rakyat.
Komentar