Bunyi Vokal: Senjata Utama Si Kembar Seribu

oleh Evi Sefiani*)

Having Down syndrome is like being born normal. I am just like you and you are just like me. We are all born in different ways, That is the way I can describe it. I have a normal life.
~ Chris Burke
, 45 tahun, aktor dan penyandang Sindrom Down~

Barangkali kita sudah tidak asing lagi mendengar sebutan anak kembar ataupun kembar siam. Namun, tak semua orang begitu lumrah mendengar sebutan si kembar seribu yang identik dengan anak down syndrome. Lantas, down syndrome itu apa ya?

Down syndrome atau dikenal pula dengan istilah sindroma down merupakan kelainan genetis melalui penyatuan kromosom nomor 15 dan 21 (trisomy 21) yang menyebabkan keterbelakangan fisik dan mental dengan ciri-ciri yang khas pada keadaan fisiknya, termasuk alat ucap. Tinggi badannya relatif pendek, bentuk kepala mengecil (microchephaly), hidung yang datar menyerupai orang Mongolia maka sering juga dikenal dengan Mongoloid, mulut mengecil dan lidah menonjol keluar (macroglossia), serta beberapa kekhasan fisik lainnya. Tak elak karena ciri-ciri fisik yang sama pada setiap penyandang down syndrome, mereka kerap mendapat julukan “Si Kembar Seribu”. Bahkan, Bandi Delphie (2009:9) menyebutkan bahwa down syndrome dapat terjadi pada segala ras dengan wajah yang sama secara internasional.

Karakteristik fisik yang khas pada anak down syndrome disertai pula dengan kondisi kognitif yang berbeda dengan anak normal pada umumnya. Mereka tergolong dalam anak-anak dengan kebutuhan khusus akibat adanya retardasi mental. Retardasi mental—kelainan atau keterbelakangan mental—diartikan sebagai suatu keadaan dengan intelegensia yang kurang ditandai dengan kecerdasan umum di bawah rata-rata juga berkurangnya kemampuan untuk menyesuaikan diri atau berperilaku adaptif. Intelegensi tersebut berkaitan erat dengan tingkat pemahaman terhadap suatu konsep, aplikasi pikiran abstrak, penyelesaian terhadap suatu masalah, juga proses berpikir. Bernstein (Pariury, 2003:17) menyebutkan bahwa perkembangan kognitif penyandang keterbelakangan mental hampir sama dengan orang normal, hanya saja prosesnya lebih lambat.

Retardasi mental akhirnya mempengaruhi fungsi kerja otak dalam berbagai hal, termasuk berbahasa. Gangguan otak kecil pada anak down syndrome menyebabkan gangguan dalam mempertahankan aturan-aturan fonologis. Alhasil, tuturan, proses artikulasi, serta pemahaman mereka terganggu. Apalagi kondisi tersebut disertai pula karakteristik yang khas pada bagian artikulatornya yang juga mempengaruhi proses berbahasa anak down syndrome, terutama saat berbicara atau melafalkan bunyi bahasa.

Besarnya ukuran lidah, bibir tebal, rongga hidung sempit, posisi serta ukuran rahang, serta lemahnya otot-otot anak down syndrome menyebabkan gangguan artikulatoris menjadi defisit yang paling menonjol. Gangguan tersebut meliputi banyak hal, diantaranya adalah perubahan bunyi dan penghilangan bunyi yang akan terlihat ketika anak down syndrome melafalkan bunyi-bunyi vokal, konsonan, maupun semi-vokal.

Menurut Marsono (2006:16) bunyi disebut vokal bila terjadinya tanpa hambatan pada alat bicara, jadi tidak ada artikulasi. Sekalipun ada hambatan, itu hanya terjadi pada pita suara, sehingga mereka lebih mudah melafalkan bunyi-bunyi vokal, diantaranya [a], [i], [u], [ə], [ε], [∂], dan [o].

Lain halnya dengan konsonan. Bunyi disebut konsonan bila terjadinya dibentuk dengan menghambat arus udara pada setiap alat bicara dan disertai dengan bergetarnya pita suara. Sedangkan semi-vokal (semi-konsonan) merupakan bunyi yang secara praktis termasuk konsonan, tetapi pada waktu diartikulasikan belum membentuk konsonan murni.

Bentuk bibir yang mengecil dan lidah yang menonjol kerap membuat si kembar seribu kesulitan melafalkan bunyi-bunyi bilabial, seperti [b], [p], atau [m]. Mereka sulit merapatkan bibir atas dan bibir bawah juga menggetarkan lidah. Sehingga, bunyi homorgan [t] dan [d] seringkali berubah atau terjadi disposisi. Macroglossia pada anak down syndrome telah mempengaruhi fungsi kerja berbagai bagian pada lidah. Bagian pangkal lidah misalnya. Pangkal lidah bekerja sama dengan langit-langit lunak menghasilkan bunyi dorso-velar, salah satunya bunyi [ŋ] yang merupakan bunyi nasal dorso-velar. Barangkali itulah sebabnya anak down syndrome sangat kesulitan melafalkan kata-kata ‘hidung’, ‘tangan’, ‘yang’, dan sebagainya.

Anak penyandang down syndrome yang terlahir dengan kerusakan organ pernapasan, berbagai kesulitan berbicara akan menambah daftar gangguan kemampuan berbahasa mereka. Walaupun demikian, pada kenyataannya, sekalipun anak down syndrome memiliki banyak kekurangan yang menyebabkan defisit bagi kemampuan berbahasanya, mereka tetap perlu melakukan sistem komunikasi dengan orang lain.

Barangkali tidak semua anak down syndrome memiliki kesulitan yang sama dan sejajar dalam mengucapkan bunyi konsonan dan semi-vokal, namun mereka memiliki kemampuan melafalkan bunyi vokal dengan baik. Alhasil, bunyi vokal menjadi senjata utama bagi si kembar seribu untuk berkomunikasi atau mengungkapkan gagasan dan perasaannya.

Pada banyak kasus, bunyi vokal digunakan anak down syndrome untuk melafalkan suatu kata yang sulit diucapkan. Nada-nada yang tersusun dari deretan vokal menjadi menjadi hal yang diidentifikasi orang lain untuk memahami maksud yang dituturkan anak down syndrome dalam berkomunikasi. Hal ini jelas membuktikan bahwa segala keterbelakangan fisik dan mental, tidak dapat membatasi langkah mereka untuk tetap berekspresi di era komunikasi. Sebut saja Randira, seorang anak penyandang down syndrome usia 9 tahun asal Tasikmalaya, yang hingga kini terus berjuang untuk melatih artikulatornya mengucapkan bunyi konsonan. Hal itu terlihat ketika ia mengucapkan bunyi ‘dua’ menjadi [wa], dan ‘berhenti’ menjadi [?εpεpi] saat menyanyikan lagu Dua Mata Saya. Sulit memang untuk menangkap bunyi yang ia maksudkan, namun pola vokal yang ia gunakan menjadi stategi komunikasi dalam bertutur sehingga lawan tuturnya mengerti tuturan tersebut.

Piaget (Bachari, 2010:25) menyatakan bahwa anak usia 7-11 tahun merupakan tahap operasional yang berkaitan dengan kemampuan konservasi, penambahan golongan benda, atau pelipatgandaan golongan benda. Bagi anak down syndrome dengan IQ pada tingkat retardasi mental berat, sedang, ataupun ringat, seperti pun Randira dengan IQ sedang, tingkat usia tersebut lebih digunakan untuk melatih berbahasa (bertutur) serta memahami suatu konsep yang ringan sama halnya dengan usia praoperasional anak normal (2-7 tahun).

Deretan bunyi vokal pada tuturan anak down syndrome sebagai senjata utama berkomunikasi menjadi sebuah kecerdasan linguistik yang khas ditengah kondisi retardasi mental yang mereka alami. Dalam berbagai kondisi tingkat intelektualitas yang ditentukan melalui ukuran IQ, anak down syndrome pun seperti halnya anak normal, yakni memiliki strategi berbahasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI