Sajaksajak Evi Sefiani dalam Majalah Bumi Manusia
Lukisan Pertemuan
seperti apa kugambarkan rasa cintaku?
seperti memperbaiki mesin jam
sebab karat dan debu menakuti detiknya untuk terus berputar
menemaniku menulis sajak cinta untukmu
dan menunggumu di trotoar jalan
meski daun rontok
klakson amat bising
seperti memperbaiki sepatu hak tinggimu
sebab jalan begitu licin sehabis banjir
musimmusim menelanjangi kota dengan air mata
tanah pun basah oleh wajahwajah pucat
yang melihatmu tergelincir ketika hendak
menemuiku di trotoar jalan
seperti kita berjalan menuju rumah
mengunci jendela
mengunci diri di ranum dadamu yang tak sehangat dulu
dari situ kulihat lukisan gununggunung dan sungai
telah bercampur aduk dengan kota lusuh
dan penuh kesedihan
sayang,
sepertinya cintaku adalah pelukis
yang ingin menggambar ulang segala pertemuan
di kota penuh kengerian
2009
Mengangankan Dirimu, Air
aku mengagangankan dirimu menjadi air
yang selalu kita reguk ketika orangorang membuangnya
tanpa keramahan
kadang meminumnya dengan tergesagesa
seperti pertemuan kita—meninggalkan asar kenangan
air selalu membuat kita begitu dekat
aku bisa memasuki tubuhmu dari kesejukkan
yang lunak
seperti percakapan kita—tentang kerinduan pada sejarah.
sekalipun kesedihan menyergap tubuh kita
tangisan itu seperti riak
memanggil muara dan
mencari wajah kita yang mulai retak
di gelombang samudera
barangkali dirimu masih menyimpan landai
dalam sajakku
ketika sungaisungai di kota beringsut
tanpamu dan cinta yang mengalir di situ
2009
Ezza
Ezza, bukan aku yang membiarkan burungburung pergi
di pekarangan guguran daun berbisik tentang musim yang tak lagi ramah
seperti gemericik air, tak pernah lagi kita dengar sejak kemarin lusa
hanya gusar angin menerbangkan daundaun, burungburung,
tapi bukan cinta kita.
dari timur, seseorang bertubuh besar dengan mata merah dan dagu bulat, datang
berjalan dengan tegap, membuat kita selalu menundukan kepala
dan dari sini, dari barat ini,
kecemasan sepucat kulit keriputmu,
kegelisahan seperti perkataanmu padaku, “sayang, mengapa kau membiarkan
beranda kita begitu senyap? tak lagi ada nyanyian riang burungburung, seperti suara flute. tak pernah lagi kau buatkan secangkir rosella beserta tembakau bakar ketika kita
menikmati keindahan petunia mekar, cassia meneteskan embun yang jatuh ke rambut kita—tak sehitam dulu ”
bukankah di kota ini, setiap waktu, sejak pagi hingga malam,
segalanya selalu membuat kita mudah jatuh cinta
seperti juga pertemuan kita di jembatan di atas sungai yang hari ini kulihat airnya keruh dan berbau busuk, di jembatan itu kau mendekap erat tubuhku,
dari situ kita benarbenar memahami bahwa cinta seperti seorang gadis dengan gaun bungabunga sedang bernyanyi, bermain di antara kotakkotak rumah yang dialiri sungai
di penuhi jajaran mahoni juga cemara,
di kota ini,
kita selalu bebas berjalan ke segala arah, ke timur pun
seperti burungburung
tapi, bukan aku yang membiarkan beranda kita senyap
kota ini membuat kita patah hati
sedang tubuhku kini begitu ringkih
bersandar di bahumu yang tak selebar dahulu
namun, tidakkah kau lihat cinta kita masih berdiri tegap
tak beranjak, meski lelaki dari timur itu, mengusir kita, seperti juga mengusir gadis dan tempatnya bermain, dari
kota yang menjadi aneh.
2009
Komentar