“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

Etem adalah sebutan bagi sebuah alat pertanian sejenis pisau yang berfungsi untuk memotong padi. Keberadaannya saat ini sudah mulai dilupakan kebanyakan orang, khususnya petani. “Aduh jaman ayeuna mah tos langki pisan mun ngala pare nganggo etem mah mun keur dibuat teh. Apanan ayeuna mah aya arit. Leuwih ringkes tur gampang tibatan ku etem”, begitu dipaparkan Abah Sulaeman. Penggunaan Etem memang jarang di masyarakat pertanian kita, khususnya di Tatar Sunda. Selain mulai sulit ditemukan, arit yang bentuknya menyerupai pisau lengkung berbentuk bulan sabit ini dinilai masyarakat sebagai alat yang lebih mudah digunakan untuk memotong padi ketimbang Etem. Hampir sama dengan Ani-ani di Jawa Tengah, Etem pun memiliki beberapa bagian yakni Pugut, Apan-apan, dan Pulung. Pugut atau biasa disebut peso etem adalah bagian yang tajam berbahan dasar baja yang tipis. Sedangkan Apan-apan atau daun Etem dibuat dari kayu dhadhap yang empuk tempat dipasangnya Pugut, dan yang terakhir adalah Pulung yang lebih dikenal dengan Barungbung merupakan sejenis bambu kecil yang panjang. Jauh lebih tradisional jika dibandingkan dengan arit yang bentuknya sudah lebih modern.

Tidak ada yang mengetahui pasti kapan Etem mulai dikenal masyarakat. Sepertinya Etem sudah ada dan dipakai sejak zaman dulu. Pasalnya, masyarakat kita adalah masyarakat agraris (hidup dari bercocok tanam atau bertani), khususnya masyarakat di Tatar Sunda. Meskipun pada masa Kerajaan Mataram terdapat perubahan sistem pertanian yakni dari budaya huma (multikultur) menjadi budaya sawah (monokutur), tetap saja Etem masih digunakan kala itu.

Bagi masyarakat kesundaan, Etem bukan hanya sebuah alat produksi pertanian saja, melainkan sebagai hasil seni budaya dan alat ekspresi keindahan. Barangkali ini ada hubungannya dengan kepercayaan masyarakat Sunda terhadap keberadaan Nyai Sri yang konon melambangkan dewi kesuburan, keselamatan, dan pemberi berkah. Kala itu Cai Reumis memberikan tanda adanya kehidupan. Cai Reumis adalah air yang selalu dipuja para bujangga, dan mengandung lambang atau siloka yang takkan ditemukan oleh masyarakat awam. Konon katanya Cai Reumis ini memiliki khasiat untuk memberi kekuatan pada anak-anak bila diusapkan pada kakinya. Cai Reumis atau biasa dikenal dengan embun, setiap subuh mengalir dari ujung-ujung rerumputan di sepanjang jalan setapak di antara petak padi yang menguning. Pada jalan setapak itu petani biasanya berjalan menuju sawah untuk melakukan satu tradisi leluhur yang disebut Mitemeyan yaitu dengan memberikan suguhan berupa potongan tebu, gula kawung, gula batu, tantang angin, menyan, juga telur. Suguhan tersebut ditujukan bagi Nyai Sri. Kegiatan ini seperti menjadi sebuah tradisi yang ada pada masyarakat Sunda maupun Jawa pada zaman dahulu. Bahkan menurut bapa Enceng dari Desa Gunung Sari, Tasikmalaya, Mitemeyan merupakan suatu tradisi sebelum panen tiba yang selalu dikaitkan dengan keberadaan Nyai Sri seperti disebutkan dalam jangjawokan berbahasa Jawa. Dalam Mitemeyan, selain memberikan suguhan, biasanya juga dipasangkan payung, selendang sutera, tektek, ataupun daun aren muda. Lantas disetiap pojok petakan sawah dipasang daun kawung.

Usai melakukan tradisi Mitemeyan pada Nyai Sri, barulah masyarakat berbondong-bondong mendekati rentetan padi yang menguning. Saatnya panen, mulailah mereka bergegas mengeluarkan alat pertanian seperti boboko, telebug, dan tak lupa Etem. Memotong padi pun langsung dilakukan.

Ternyata keberadaan Nyai Sri begitu berkenan di hati masyarakat Sunda. Karena Etem juga disebutkan sebagai seni dan ekspresi, banyak masyarakat mengukir Etem dengan berbagai rupa. Ada yang di ukir sampai runcing menyerupai hidung Nyai Sri, atau juga disungging sesuai keinginan. Namun ketika akan mengukir Etem seperti wanita yang diidamkan, biasanya masyarakat melakukannya sambil menyanyikan tembang, atau saling menyindir satu sama lainnya. Satu hal yang pasti, pada zaman dulu nilai keindahan sangat diperhatikan masyarakat sampai hal yang terkecil seperti keindahan ukiran Etem. Berbeda dengan zaman sekarang, segalanya serba modern dan mengikuti teknologi yang berkembang.

Keindahan pada Etem menjadi suatu keindahan pula bagi tradisi memotong padi. Karenanya, memotong padi pada zaman dulu bukan hanya sekadar rutinitas panen seperti sekarang, namun lebih sebagai tradisi budaya masyarakat di Tatar Sunda. Bukan hanya itu saja, bahkan ada yang menyebutkan bahwa Etem juga menyimpan suatu adat mayarakat. Hal ini dikaitkan dengan adanya upacara mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya.

Dengan kata lain, Etem juga erat kaitannya dengan sistem sosial masyarakat. Etem mampu mempermudah sistem distribusi penghasilan. Kegiatan panen atau dibuat biasanya dilakukan oleh banyak orang. Hal ini dinilai efektif bagi pemilik sawah untuk memberdayakan masyarakatnya yang tidak memiliki sawah atau ladang untuk digarap. Dengan sistem bagi hasil yang merata, masing-masing warga tidak merasa ada yang kerugian. Dan, hubungan kekeluargaan pun semakin erat.

Beralihnya fungsi Etem kepada Arit, maka sistem sosial yang menyertainya pun turut mengalami perubahan. Arit yang dinilai lebih praktis baik dalam penggunaan maupun dan efektifitas hasil memotong padi, maka untuk menggarap sawah tidak diperlukan banyak orang. Masyarakat yang datang ke sawah semakin sedikit, dan pengangguran pun semakin meningkat. Hal ini pun berpengaruh pada nilai estetika dari Etem. Semula tradisi memotong padi selalu dihiasi ukiran-ukiran indah maupun merdunya nyanyian petani, sekarang di sawah hanya terdengar suara arit yang tengah memotong padi saja.

Sebenarnya pengalihan fungsi Etem juga dipengaruhi oleh jenis padi yang akan dipotong. Menurut masyarakat di Tasikmalaya, dahulu Etem banyak dipakai untuk memotong padi rangeuyan atau padi berukuran besar dengan jenis tertentu. Saat ini padi yang ditanam di sawah merupakan padi biasa yang berukuran kecil, maka masyarakatnya pun beralih dari menggunakan Etem menjadi Arit. Etem lebih mudah dijumpai di daerah pedalaman Cianjur yang menanam padi ranggeuyan.

Hal di atas juga terjadi pada nasib Ani-ani di Jawa Tengah. Fungsinya kini digantikan oleh Sabit karena jenis padi yang ditanam, batangnya lebih pendek. Padi ini merupakan tanaman jenis baru yang disebut Cisedani.

Bagaimana pun keadaan Etem saat ini, kita tetap perlu mengenalnya. Bahkan, sudah seharusnya kita sebagai mengembalikan Etem pada fungsinya yang semula. Bukan hal yang tidak mungkin, dengan kembalinya Etem di Tatar Sunda, sistem sosial masyarakat, nilai estetika memotong padi, atau sekadar jenis padi unggul berbentuk ranggeuyan, dapat kembali hadir mewarnai pertanian masyarakat Tatar Sunda.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI