Kajian Hermeuneutik Batik

oleh Reza Saeful Rachman

Hermeuneutika adalah filsafat atau ilmu tentang penafsiran secara ilmiah. Dalam kehidupan, manusia terus-menerus dituntut untuk menafsirkan berbagai gejala, fakta, atau teks. Di dalam upaya menafsirkannya itu orang dapat merujuk kepada subjektifitas, pendapat orang lain, atau bahkan takhayul, yaitu kepercayaan yang tidak pernah dipertanyakan secara kritis (Saini K.M, 2004: vii).

Dalam praktek hermeuneutik, ada tiga kata kunci utama yang perlu mendapat perhatian yaitu makna, teks, dan konteks. Makna suatu gejala, fakta, atau teks hanya dapat ditemukan atau berada dalam hubungan gejala/fakta sebagai teks dengan lingkungan atau konteksnya.

Batik adalah salah satu produk budaya lampau yang telah menjadi khazanah dari budaya nusantara. Meskipun pada awalnya batik adalah produk budaya feodalis, dalam perkembangannya batik malah kian universal dan dinamis. Pengguna batik kini tak lagi mengenal sistem kasta sosial seperti dahulu. Ini terjadi seiring dengan melunaknya budaya kraton sebagai penghasil batik yang kian toleran dan luwes dalam menerjemahkan sebuah sistem budaya.

Kembali lagi ke kajian antara batik dan hermeuneutika, batik adalah produk pemikiran manusia sawah. Ini dapat kita simak dari motif-motif yang merupakan simbol kosmologis budaya mereka. Bukti otentitas itu terletak pada symbol-simbol gambar batiknya. Masyarakat jawa yang pertama kali menghasilkan batik, merupakan sebuah komunitas budaya yang kecenderungannya adalah manusia sawah. Mereka telah mengenal sistem pondasi rumah, penggunaan batu, serta tak lagi nomaden. Karena tak lagi berpindah-pindah, kegiatan penghasilan sebuah produk budaya sebagai contoh batik tak lagi sulit untuk dilakukan. Berbeda dengan masyarakat sunda yang cenderung berorientasi manusia ladang. Manusia ladang hidup masih berpindah. Sejak masa purba sampai masa primordial, manusia sunda cenderung berpindah-pindah, dan tidak menganut pola rumah yang permanen. Sehingga dahulu terdapat anekdot “urang sunda mah bisa mindahkeun imah ti gunung ka gunung!” artinya orang sunda itu bisa memindahkan rumah dari satu gunung ke gunung lain.

Dalam proses pembuatan batik, terdapat beberapa proses ritual yang tak boleh dilanggar oleh pembuat batik. Ini disebabkan karena pada awalnya batik hanya muncul dalam upacara adat, upacara penobatan, acara besar kerajaan, atau ketika perang. Kesemuanya itu menuntun makna alam berpikir manusia sawah. Selain itu batik hanya boleh dikerjakan oleh perempuan. Meskipun kini dalam perkembangannya terdapat pembatik lelaki, akan tetapi jejak keperempuannya masih dapat kita lihat jelas.

Ini tak lepas dari pola pemikiran pra-modern yang menganggap kain sebagai symbol perempuan. Sering kita lihat beberapa tiang pancang sebuah bangunan adat dililiti semacam selendang atau kain. Masyarakat pra-modern menganggap rumah adalah sebuah kosmos pertemuan antara laki-laki dengan perempuan. Atap dikenal sebagai kosmos perempuan, sedangkan kaki rumah merupakan kosmos lelaki. Lelaki butuh kelembutan dalam hidupnya, pelilitan kain pada tiang pancang adalah pencerminan untuk permasalahan tersebut.

Penggunaan batik pada awalnya hanya dililitkan dari pusar sampai mata kaki. Dalam pemakaiannya kita harus memperhatikan mana bagian depan dan mana bagian belakang. Ini disebabkan karena depan atau belakang memiliki nilai yang berbeda. Perhitungannya ketika mempergunakan batik minimal adalah dua setengah kacu. Satu untuk bagian depan, satu untuk bagian belakang, dan setengah untuk wiron. Wiron adalah lipatan kain yang berada di bagian depan. Ini sebabnya pada awalnya batik berpola memanjang secara horizontal. Selain itu pola pemakaian dengan menggunakan ukuran kacu sesuai menggambarkan moncopat kalimo pancer. Akan tetapi ketika konsep-konsep india masuk, kacu lebih dikenal dengan mandala. Mandala adalah lingkaran (tak terbatas) yang berada dalam segi empat (terbatas). Ini bila tafsirkan ternyata ada hubungan transendensi dan imanensi. Sebuah pandangan mengenai keterbatasan manusia ketika berhadapan dengan kosmosnya. Kita dapat menggali mandala ketika kita mengetahui pusat mendalanya. Batik yang dapat diktegorikan sebagai batik mandala adalah motif kawung, beton, bintangan, dan kembangan.

Disamping pola mandala, dalam batik dikenal juga pola parang atau miring. Pola parang adalah bagian pola gambar batiknya diagonal. Garis diagonal adalah harmoni antara garis vertical dan horizontal. Pengisian bidang-bidang miring biasanya pola dualism antagonistic. Kehadiran ini bermakna paradox, karena bentuknya yang berlawanan akan tetapi dalam satu kesatuan motif. Pola seperti ini dapat kita temukan dalam batik parang. Secara tidak langsung ternyata ada filosofi yang hendak disampaikan, yaitu meskipun berlawanan kita harus tetap bersatu dalam satu konteks.

Selain itu ada batik yang bersimbol flora dan fauna. Batik seperti ini berkembang sesuai symbol dalam budayanya sendiri. Batik semacam ini muncul ketika beberapa kerajaan hendak membentuk identitas-identitas kewibawaannya. Sebagai contoh, kerajaan jawa yang bersifat imprealis dan feodal cenderung memilih garuda dan dunia atas (kahyangan). Masyarakat sunda yang cenderung bersifat defensif dan lebih tenang memilih simbol tumbuhan, burung yang indah, juga sebagian dunia atas. Pengkajian seperti ini harus dikaji sembari memperhatikan bidang-bidang di luar rupanya seperti folklore, sistem politik, dan mitos-mitosnya.

Pada hakikatnya, semua produk budaya dibuat juga untuk menghasilkan entitas yang paradoks. Penggalian yang harus diwujudkan dalam analogi empirik kita agar kita mengetahui pandangan-pandangan paradoks tentang hidup-mati, lelaki dan perempuan, serta ruang dan waktu.

Dengan demikian batik itu sendiri merupakan symbol paradoks. Kita dapat menemukan falsafah pendahulu kita dalam symbol-simbol yang terdapat dalam pola batik. Dalam batik berpola kacu, kita akan merasakan keterbatasan kita di hadapan sang kosmos (tuhan). Dalam pola parang kita dapatkan cara agar kesatuan terus ada. Paradoks lainnya adalah dalam bentuk flora atau fauna yang merupakan symbol dunia atas dan dunia bawah.

Inilah sebabnya makna batik hanya dapat kita telusuri dari konteks penggunaannya dalam sebuah ritual adat. Dalam konteks apa batik tersebut boleh dipakai; Lalu batik ini untuk perempuan atau laki-laki; siapa saja yang boleh mempergunakan batik tersebut; jumlah wiron atau lipatannya; dll. Sayangnya beberapa dari kita sudah tak mempedulikan lagi hal-hal seperti ini. Pengguna batik kini hanya sekedar pada tahap memakai saja. Tanpa mengetahui konsep batik tersebut dan cenderung tidak mengetahui batik mana yang dipakai. Bukan hendak memandang pemakaian batik yang kini kian marak dengan sisi yang satire. Hanya saja akan lebih baik jika kita mengetahui identitas batik tersebut. Jangan sampai kasus lucu pemakaian batik buatan luar negeri yang jelas-jelas tak ada substansinya dengan budaya kita atau malah tak bernilai apa-apa kita pergunakan di hari penuh euphoria batik nusantara.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI