REPRESENTASI IDEOLOGI GENDER DALAM NOVEL RONGGENG

oleh Evi Sefiani


Profil dan Identitas Gender dalam Novel Ronggeng

Profil dan identitas gender merupakan seorang subjek hidup yang lahir dalam sebuah novel, baik itu bertubuh perempuan maupun laki-laki. Dewi Linggarsari sebagai seorang pengarang, telah mampu menggambarkan profil subjek—baik laki-laki maupun perempuan—dalam Ronggeng secara nyata dengan merepresentasikannya sesuai konteks sosial.

Secara umum, Ronggeng mencitrakan dua jenis golongan gender secara konteks sosial, yakni subjek yang hidup di wilayah pedesaan dan subjek yang hidup di wilayah perkotaan dengan mengambil setting waktu sekitar tahun 1970-an. Sarinah, begitu nama tokoh utama perempuan golongan bawah yang hidup di sebuah pedesaan di antara perekebunan teh.

“Anak tunggal setelah kedua adiknya meninggal, ia harapan satu-satunya dari orang tua. Ayahnya seorang pensiunan TNI yang sudah tua dan sakit-sakitan. Ibunya adalah seorang wanita yang prigel dan bertangan dingin dalam merawat kebun (Linggarsari, 2007: 3)”.

Gadis desa itu menyadari kemiskinan dan ketidaktepelajarannya telah menyebabkan ia harus memenuhi segala perintah orang tuanya, termasuk untuk menikah dengan lelaki yang dijodohkan orang tuanya dan tidak ia cintai. Sarinah adalah anak bumi yang hidup dari hasil bertani. Ia dekat dengan segala sesuatu yang bersifat alam dan menentramkan. Perempuan yang pasrah terhadap ketidakberdayaannya, amat penurut, dan menjalankan peranan di rumah (sektor domestik) dengan baik, itulah profil Sarinah. Ia adalah ibu rumah tangga yang selalu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dengan baik, seperti mencuci, memasak, mengurusi anak dan suami. Diam adalah satu-satunya sikap penolakan yang nyata dari Sarinah.

Pramana adalah subjek hidup tokoh utama laki-laki yang juga berasal dari pedesaan. Ia adalah anak pertama dari sebuah keluarga petani yang hidup lebih baik karena kepemilikan tanah yang luas. Namun, apa gunanya tanah yang luas? Setelah berpisah dengan perempuan yang dicintainya, Pramana memutuskan pindah ke kota dan bekerja pada saudaranya yang kaya.

Ia tak dapat mengerjakan apa-apa dengan ijazahnya kecuali turut serta memelihara ternak dan mengolah tanah, menyemai bibit, dan bersabar diri merawat kemudian menunggu bibit itu siap dituai. Ia akan bergirang hati ketika panen berhasil dan menjual hasil kebun ke kota dan menukarnya dengan aneka barang keperluan hidup. Sebaliknya ia harus benar-benar tabah apabila panen gagal, karena hama atau kemarau panjang. Tak selalu mudah menggantungkan diri tetap alam. Pramana menjalani—menjalani—tanpa keluh kesah, sementara gelora dan harapan itu tak pernah reda. Suatu saat ia akan sampai pada waktunya, ketika ia memiliki cukup harta sebagai peningset bagi lamaran dan hari itu yang membahagiakan. Harapan itu amatlah membumbung tinggi seakan laying-layang terbang menggapai langit. Dan akhirnya hari itupun tiba, hari ketika kenangan yang hendak disuntingnya berpamit, berpamt untuk menikah dengan seorang sinder (Linggarsari, 2007:116-117).

Ketidakberdayaan Pramana pada cinta telah menimbulkan pemberontakan dalam batinnya. Setelah hidup lebih baik di kota dan menjadi pengusaha sukses, Pramana mampu membuktikan bahwa ia bukan lagi seorang pemuda desa yang tidak terpelajar dan kumal. Secara ekonomi dan sosial ia telah terbilang mapan. Ia telah menjelma menjadi pemuda tampan dan berwawasan, meski hatinya tetap sebagai pemuda desa yang rendah hati. Ia memiliki seorang adik perempuan bernama Retno.

Lain halnya dengan Pramana, Pambudi merupakan subjek hidup bertubuh laki-laki yang bekerja sebagai sinder pabrik teh. Secara ekonomi, ia termasuk golongan atas. Karena pekerjaannya itu, tokoh utama itu begitu dihormati warga desa di sekitar perkebunan teh. Pambudi adalah seorang duda berusia muda usai istrinya meninggal dunia ketika akan melahirkan anak mereka.

Asal-usul dari keluarga priyayi kentara sekali dalam setiap perilaku dan kata-katanya. Dan kedudukannya di lingkungan pabrik serta penampilannya yang simpati (Linggarsari, 2007: 2).

Keadaan seperti itulah yang membuatnya dengan mudah melamar seorang kembang desa, demi menghilangkan rasa kesepian dalam hatinya. Namun, perkawinannya tak juga membuat Pambudi bahagia. Padahal, ia adalah seorang suami yang bersikap lembut dan cukup bertanggung jawab bagi keluarganya. Ia selalu mencari kebagaiaannya dengan cara bekerja di sektor publik. Kekayaan, kedudukan, dan ketidakbahagiaan dalam perkawinan tak elak membuat ia lupa dan diperdaya seorang perempuan lain. Kelembutan hati Pambudi telah tertutupi oleh pemberontakan yang bersifat pengkhianatan.

Pursilah adalah profil tokoh utama perempuan Jawa yang ayu. Gadis itu memiliki kenangan buruk dengan keluarganya.

“Konon, Pursilah adalah bocah kecil yang dipungut dari keluarga petani miskin setelah kematian emaknya. Sang bapak tak kuasa menduda dan pergi entah ke mana? Kabarnya ia menikah lagi dengan seorang janda di desa tetangga dan tak peduli lagi akan nasib Pursilah. Sejak masih seorang keayuan Pursilah sudah sangat nyata, ia memiliki kulit kuning bak buah langsat, wajah berbentuk bujur sirih, sepasang mata jernih seperti air telaga, dagu yang runcing, dan rambut selegam arang. Tubuh gadis itu tinggi semampai dengan tungkai yang panjang dan pinggang ramping menyangga pinggul yang padat berisi. Sementara dadanya adalah gundukan sepasang bukit yang amat sehat. Dia amat gemar menari (Linggarsari, 2007: 62)”.

Pursilah merupakan ronggeng terkenal di seluruh penjuru desa. Ia dibesarkan oleh seorang Nyai. Sehingga, gadis itu amat penurut terhadap apapun yang diperintahkan Nyai, hingga akhirnya timbullah pemberontakkan dalam dirinya. Ia merasa kemampuannya telah dimanfaatkan, sehingga ia tak berdaya dan hendak mengembalikkan kodratnya menjadi perempuan normal yang dapat menikah, memiliki keturunan, dan hidup seperti perempuan pada umumnya. Namun, ia gelap mata hingga akhirnya ia merebut suami orang lain demi mewujudkan harapannya untuk memiliki keluarga.

Secara ekonomi, Pursilah tak kekurangan apapun. Penghasilannya dari meronggeng dan melayani laki-laki cukup untuk membiayai kebutuhan hidupnya bersama Nyai. Namun, secara psikologis, ia begitu merasa hampa karena tak bisa hidup dan menjalani kodratnya sebagai perempuan, bahkan hingga akhir hidupnya. Sedangkan, Nyai merupakan profil perempuan desa yang secara ekonomi hidupnya mapan setelah menjadikan Pursilah sebagai ronggeng. Pada awalnya Nyai adalah petani miskin. Ia memungut Pursilah, mengatur jalan hidupnya seperti boneka. Ia begitu menjaga harta satu-satunya itu.

Hal lain lagi terjadi pada profil orang tua Sarinah sebagai tokoh pembantu. Ayah Sarinah yang seorang pensiunan TNI yang tua dan sakit-sakitan. Adatnya cukup keras dan secara ekonomis hidupnya sangatlah sederhana (golongan bawah). Sedangkan Ibu Sarinah adalah seorang petani yang berdarah dingin yang mampu mengurusi lahan dan kebun dengan baik. Ibu Sarinah merupakan sosok yang lembut dan penurut terhadap suami maupun adat. Sehigga, setiap permasalahan menyangkut keluarga dan anaknya, ia selalu menuruti kehendak suaminya, sekalipun keinginan hatinya berlawanan.

Berdasarkan paparan di atas tampak bahwa novel Ronggeng merepresentasikan profil identitas laki-laki dan perempuan dari golongan atas, menengah, hingga golongan bawah. Keadaan ekonomi, sosial, pendidikan, serta keturunan (priyayi) menjadi indikator penting dalam menentukan kedudukan dan posisi seorang tokoh laki-laki dan perempuan. Hal tersebut yang pada akhirnya memicu lahirnya pemikiran mengenai kodrat, dan ideologi gender pada diri perempuan dan laki-laki. Keterdidikan dan keadaan ekonomi sosial yang tinggi menyebabkan pemikiran secara modern dan kritis tumbuh sesuai zaman. Sebaliknya, keterdidikan dan keadaan ekonomi sosial yang rendah menyebabkan pemikiran tradisional berkembang. Sehingga, kepatuhan terhadap nilai adat dan tradisi masih tercipta dengan kuat. Adapun, pemberontakan terhadap ketidakberdayaan gender yang muncul akibat dari keterdidikan dan keadaan ekonomi sosial yang rendah hadir dan menlahirkan usaha resistensi kulturan dengan mempertanyakan kembali norma-norma yang mengkotak-kotakkan relasi dan fungsi gender laki-laki dan perempuan.

Peran Gender

Peran tradisional

Keberterimaan dan penolakan hingga pemberontakan terhadap peran-peran gender yang sudah ada, muncul sebagai akibat timbulnya faktor-faktor kultural. Salah satu konsekuensi dari integrasi kultural terhadap tradisi yang ada adalah penerimaan peran-peran gender yang sudah ditentukan secara tradisi.

Posisi laki-laki dan perempuan secara tradisional ditentukan oleh letak fungsi dan peran gender itu sendiri. Laki-laki dipandang secara tradisional sangat berorientasi pada sektor publik sebagai seseorang yang mampu bekerja untuk menafkahi keluarga, menjadi pemimpin atas rumah tangga, serta pengambil kebijakan atau keputusan. Laki-laki seperti ini sangat tercermin dalam tokoh Pambudi.

Sebagai seorang suami, Pambudi lebih memilih perannya di sektor publik sebagai seorang sinder pabrik teh. Pekerjaannya tersebut juga sangat menyita waktu sehingga, sedikit kesempatan baginya untuk memikirkan pekerjaan di sektor domestik yang memang telah dilaksanakan istrinya dengan baik. Namun, Pambudi tetap menjalankan tugasnya sebagai kepala rumah tangga dan suami yang baik. Ia sangat tradisi dan otoriter dalam menentukan beberapa kebijakan rumah tangga, seperti menentukan peran dan fungsi anggota rumah tangga. Namun tak lantas ia bersikap memaksakan ideologinya. Dalam beberapa hal, ia bersikap bijaksana dan terbuka terhadap istrinya. Kaeadaan seperti itu tak bertahan lama, hingga akhirnya Pambudi memutuskan memanfaatkan posisinya di sektor publik untuk hal lain yang dinilai menyimpang, yakni memanfaatkan uang hasil bekerja untuk bercinta dengan perempuan lain. Sehingga, Pambudi jadi terlihat tertutup dan memaksakan kehendak dan ideologi demi kepentingan pribadinya. Apalagi, mengingat darah priyayi mengalir dalam tubuhnya.

Pramana dengan profil laki-laki yang sederhana, lahir sebagai seorang korban dari sistem feodalisme yang diciptakan oleh orang tua Sarinah. Keadaan pendidikan dan ekonomi yang juga sederhana sebagai bagian dari ketidakberdayaan gender, menyebabkan timbulnya usaha-usaha untuk melawan ketidakberdayaan tersebut. Pramana memilih tinggal di kota dengan membatu usaha saudaranya yang kaya raya. Alhasil, di sana ia sukses sebagai pengusaha yang secara ekonomi sosial lebih baik. Sekalipun, ia tidak menjalankan tugas yang diberikan orang tuanya untuk mengurusi dan menggarap lahan pertanian, namun ia tetap mampu menafkahi dan bertanggung jawab pada keluarganya dari hasil usahanya di kota. Hal itu juga menjadi sebuah pembuktian atas usaha pemberontakan peran gender yang ada. Keadaan ekonomi sosial yang lebih baik membuatnya dipandang lebih pula oleh masyarakat, seperti

Pramana bukan lagi cah angon, bukan lagi, cah ndeso yang hidup dengan menggantungkan diri pada ternak dan lahan. Ia telah menjadi seorang yang cakap, yang kini berdiri tegak tak bergeming, seakan menantang kehadiran lawan (Linggarsari, 2007:135).

Mengingat sistem feodalisme, ayah Sarinah justru mengambil sikap yang lebih patriarkhat sebagai akibatnya. Usaha perjodohan anaknya dengan seorang keturunan priyayi pun dilakukannya. Ayah Sarinah adalah seorang pensiunan TNI, dengan kata lain ia telah berhenti menjalankan tugasnya di sektor publik sebagai pencari nafkah. Namun, tak lantas ia meninggalkan perannya sebagai pemimpin rumah tangga. Justru, ia sangat tradisi dan otoriter dalam menentukan kebijakan rumah tangga, salah satunya menjodohkan Sarinah. Sehingga, ia terkesan sangat memaksakan kehendak dan ideologi pribadinya dalam keluarga.

Selain peran gender laki-laki, Ronggeng juga merepresentasikan peran gender perempuan yang menempati posisi di sektor domestik. Peran perempuan tradisional sangat berorientasi pada fungsi biologis, seperti memasak, mencuci, dan mengurusi suami. Alhasil, tak jarang perempuan diasosiasikan non produktif tanpa harus berarti tidak ada ruang publik bagi peran gender tradisional.

Hal di atas tercermin pada profil Sarinah sebagai seorang gadis desa yang amat penurut. Sarinah menjalani perkawinan atas perjodohan orang tuanya.

Sudah menjadi tradisi atau adat di desa ini bahwa seorang gadis yang “baik” hendaknya menurut jodoh yang dipilih orang tuanya. Menolak perjodohan berarti melanggar adat, norma, dan tata krama, amat memalukan di desa ini (Linggarsari, 2007:18)

Ia menjadi anak penurut dengan menikahi Pambudi serta menjadi istri yang juga penurut dengan melaksanakan seluruh tugas rumah tangga dengan baik. Sarinah menyadari perannya sebagai istri, maka tanpa banyak mengeluh ia menjalankan tugas rumah tangga dengan baik, seperti memasak, berbelanja ke pasar, mencuci, mengurusi dan melayani kebutuhan suami, serta menjadi ibu yang baik bagi Renjani, anak sematawayangnya. Kenangan masa lalu pada Pramana yang membuatnya begitu dingin pada Pambudi. Sehingga, sekalipun gadis itu amat penurut, lembut, serta menjalankan perannya dengan baik, kebahagiaan tak juga hadir pada perkawinannya dengan Pambudi. Ketidakberdayaan gender sebagai akibat sistem feodalisme dan patriarkhat, menyebabkan Sarinah menerima peran gendernya sekalipun penolakan muncul dari batinnya. Tak salah bila ia diposisikan sebagai korban dari integrasi kultural yang tradisi. Ia bersikap menyerah terhadap kekuasaan laki-laki—ayah dan suaminya.

Peran Transisi

Ibunya Sarinah menjalani peran gender transisi sebagai seorang perempuan. Dalam beberapa hal ia menjalankan peran di sektor publik sebagai seorang petani.

Ibunya adalah seorang wanita yang prigel dan bertangan dingin dalam merawat kebun (Linggarsari, 2007: 3)”.

Namun, ia tidak melupakan perannya sebagai istri dan ibu di sektor domestik. Bahkan, ia tak berdaya dan bersifat penurut atas sistem kekuasaan patriarki yang diciptakan suaminya sendiri. Maka, ketika suaminya menjodohkan Sarinah dengan laki-laki yang dikendaki suaminya itu, ia menjadi penurut dan pasrah. Ia hanya berharap keputusan suaminya memberikan kebaikan bagi Sarinah. Ibu Sarinah tergolong perempuan yang mempertahankan tradisi dalam berkehidupan. Maka, nilai-nilai itulah yang ia tanamkan dalam diri anaknya.

Peran Egalitarian

Konsekuensi yang muncul akibat resistensi kultural adalah penolakan atau pemberontakkan peran-peran gender yang sudah ditentukan oleh tradisi. Berbicara mengenai penolakan hingga ketidakberdayaan, profil Pursilah sebagai seorang ronggeng ternama turut merasakannya. Begitu mendengar kata Ronggeng, yang kita tahu adalah sebuah tarian yang selalu identik dengan hubungan antara penari ronggeng dan laki-laki. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa ronggeng merupakan tari tradisional dengan penari utama wanita, dilengkapi dengan selendang yang dikalungkan di leher sebagai kelengkapan menari. Selendang yang berfungsi sebagai kelengkapan menari juga memiliki kegunaan lain yaitu untuk menggaet penonton laki-laki untuk turut menari bersama penari ronggeng. Oleh karena itu, kemampuan penari ronggeng dalam memikat penonton laki-laki selalu berakhir dengan suatu tindakan bersifat pornografi. Hal tersebut diungkapkan pula oleh Raffles dalam bukunya History of Java yaitu pada zaman dulu ronggeng dapat dijumpai diseluruh tanah Jawa, dan menurut pengamatannya pada saat itu para penari ronggeng memiliki perilaku yang kurang terhormat, sehingga istilah ronggeng selalu disosialisasikan dengan pelacur.

Potret ronggeng benar-benar terlihat dalam diri Pursilah. Gadis cantik itu secara sadar dan tidak menjadikan dirinya berada pada posisi publik sebagai seorang yang bekerja mencari nafkah, meskipun sesekali ia menyempatkan diri mengurusi urusan di sektor domestik.

“Sama seperti ibu-ibu dan kaum wanita yang bertanggung jawab terhadap asap dapur, Pursilahpun merasa perlu untuk berbelanja sekaligus bersenang-senang di tengah keramaian. Ia menikmati jerih payahnya sebagai seorang ronggeng… (Linggarsari, 2007:36)”

Peran gender modern seperti ini justru menimbulkan penolakan dari dalam diri Pursilah. Sebagai seorang ronggeng yang juga harus selalu melayani tamu laki-laki, ia tidakdiperbolehkan menikah, apalagi mengandung. Keadaan seperti itu membuatnya jenuh. Pemberontakan timbul melalui usahanya merayu Pambudi, suami Sarinah, hingga terjadinya perselingkuhan. Keinginanan untuk menjalani peran perempuan tradisional dengan menikah dan mempunyai keturunan, telah membuatnya gelap mata. Nyai sendiri sebagai orang yang bertanggung jawab atas diri Pursilah bertindak otoriter dengan memaksakan ideologinya. Ia yang membentuk Pursilah menjadi ronggeng. Maka, ketika penolakan muncul dalam diri Pursilah, Nyai berusaha menahan dan mencegah pemberotakan tersebut. Usaha Nyai semakin membuat Pursilah lepas kendali. Ia benar-benar ingin menikah dengan Pambudi, menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga. Meskipun, pada akhirnya usaha Pursilah sia-sia. Ia meninggal dengan tragis. Ia merupakan korban atas sistem yang diciptakan Nyai. Namun, pemberontakkan juga telah membuatnya hancur.

Jenis Ideologi Gender

Ideologi gender yang dimaksud di sini adalah segala nilai, aturan, kepercayaan dan stereotip yang menentukan dan mengatur identitas perempuan dan laki-laki, yang membuat para tokoh novel Ronggeng berinteraksi dan bersosialisasi. Berdasarkan hasil kajian, jenis ideologi gender yang direpresentasikan dalam Ronggeng adalah (1) ideologi patriarki, (2) ideologi familialisme, (3) ideologi bapak-ibuisme, dan (4) ideologi umum.

a. Ideologi Patriarki

Ideologi patriarki adalah ideologi yang menekankan kekuasaan bapak (kaum laki-laki) yang mendominasi, mensubordinasikan dan mendiskriminasikan kaum perempuan. Ideologi ini merupakan sebuah sistem sosial yang mendukung dan membenarkan predominasi laki-laki, menimbulkan pemusatan kekuasaan dan privilese di tangan kaum laki-laki, dan mengakibatkan kontrol dan subordnasi perempuan, menciptakan ketimpangan atau ketidakadilan gender. Hal ini merupakan dominasi atau kontrol laki-laki atas perempuan, atas badannya, seksualitasnya dan pekerjaannya, baik dalam keluarga maupun masyarakat (Rich dalam Bern, 1993; Bhasin ; 1996; Mananzan, 1996). Dalam hal ini, perempuan ditempatkan sebagai makhluk kelas dua (the second sex), inferior, tersubordinasi, dan terpinggirkan.

Kepatriarkian jelas terpatri dalam novel ini. Secara jelas, kekuasaan bapak (kaum laki-laki) dapat dilihat ketika bapak dari Sarinah yang menjodohkan anaknya kepada Pambudi. Perjodohan merupakan salah satu dampak yang disebabkan oleh dominasi laki-laki. Pada akhirnya wanita pulalah yang terpinggirkan. Kaum bapak yang notebene lingkupannya di sektor publik, merasa bahwa setiap asumsi mutlak berada di atas kendalinya. Kaum ibu (wanita) dianggap serba tidak tahu karena kaum bapak merasa pandangan-pandangan ibu yang berada di sektor domestik dangkal.

Sarinah merupakan bagian dari seorang perempuan yang menyerah terhadap sistem patriarki baik yang diciptakan ayah dan suaminya. Ia dibuat tidak berdaya dan menjadi seorang yang sangat penurut. Menyerah pada perjodohan yang telah ditentukan ayahnya dan pada kekuasaan serta pengkhianatan yang dilakukan suaminya, seperti terlihat pada bagian di bawah ini.

Malam ini seharusnya diliputi kebahagiaan. Suara gending yang lembut mendayu, dan lenggang lenggok seorang ronggeng di atas panggung yang menyedot perhatian para tamu, kemudian segala hidangan yang tersaji dan wajah tampan pengantin laki-laki—sebuah perhelatan yang sempurna—tapi pengantin perempuan tak ada menampakkan senyum. Sungguhpun mendung tak tampak bergayut pada wajahnya yang sempurna, mata sendu pengantin itu tampak mencari-cari. Ketika keseluruhan acara hampir selesai, tapi tamu yang ditunggu-tunggu tak juga tampak. Sarinah menyerah dengan sebuah helaan nafas panjang. Sebuah cerita kuno telah selesai, atau justru baru saja dimulai. Cerita ketika seorang kembang desa harus berpisah dari kekasih hati dan menjelang perkawinan dengan laki-laki yang menjadi pilihan orang tuanya (Linggarsari, 2007:1-2).

Pambudi yang dilanda rasa gembira menganggap sikap diam Sarinah sebagai pernyataan malu seorang kembang desa. Apa pun sikap wanita itu, maka ia telah menikahi dan berkuasa penuh atas dirinya. Perkawinan ini sudah jelas menjadi kemenangan baginya (Linggarsari, 2007:21).

Pada bagian di atas begitu tampak bahwa Sarinah telah dibuat menyerah dan tak berdaya oleh sistem patriarki yang diciptakan ayahnya dengan cara menikahi Pambudi, lelaki yang sama sekali tak dicintainya. Di samping itu, sistem patriarkhat juga tercermin dari posisi laki-laki dan perempuan di dalam sebuah rumah tangga. Laki-laki selalu memiliki kewenangan atas urusan di sektor publik, menjadi pemimpin, dan pengambil kebijakan dalam rumah tangga. Sehingga laki-laki dianggap memiliki kekuasaan penuh dalam mencari nafkah, berhubungan dengan dunia di luar rumah, sedangkan jika ia di rumah akan tetap memiliki kekuasaan atas istrinya yang hanya menempati posisi domestik dalam urusan memasak, mencuci, serta mengurusi suami dan anak. Keadaan seperti itulah yang kemudian tampak pada kehidupan Sarinah bersama Pambudi. Hal itu juga dikaitkan dengan ideologi familialisme.

Akhirnya, dapat diketahui bahwa dalam Novel Ronggeng, tokoh Patriarki dilakoni oleh ayah Sarinah dan Pambudi.

b. Ideologi Familialisme

Sebagai istri yang baik, perempuan harus dapat mendampingi suami untuk mencapai cita-cita hidup. Ia harus pandai menjaga diri, baik dalam bersikap maupun bertingkah laku sehingga akan selalu disayangi oleh suami. Ideologi familialisme ini telah ditanamkan pada perempuan sejak dini. Oleh karena itu, tujuan hidup dan cita-cita seorang gadis hanyalah supaya secepatnya dapat menikah. Akibatnya, kehidupan anak perempuan atau gadis tertuju kepada peristiwa-peristiwa pernikahan itu, yang dianggap oleh masyarakat dan orang tuanya sebagai puncak kesuksesannya sebagai orang tua dan puncak kebahagiaan bagi anak perempuannya, walaupun gadis tersebut tidak boleh ikut memilih calon suaminya, bahkan kadang-kadang sama sekali belum pernah dilihatnya. Sejalan dengan itu, semenjak awal masa kanak-kanak, norma-norma yang seharusnya dianut oleh seorang anak perempuan ditanamkan. Ia harus belajar sedikit kenes dan dapat menyenangkan hati lawan jenisnya. Ketika remaja, ia tahu harus tampil menarik di hadapan laki-laki, impian yang paling didambakan adalah mendapatkan seorang pangeran yang tampan yang akan memberikan kebahagiaan untuk selamanya (cinderella complex). Ia belajar dari teladan ibu dan saudara-saudaranya bahwa perempuan harus menyenangkan hati suaminya, dan patuh terhadap keputusan-keputusannya.

Ideologi familialisme sangat tercermin pada diri Sarinah sebagai seorang perempuan sekaligus anak yang menempati posisi di sektor domestik. Sebagai seorang anak, Sarinah tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat penurut terhadap perintah dan kekuasaan ayahnya sekaligus mampu berperan sebagai anak yang membantu tugas ibunya. Sedangkan, sebagai istri Sarinah mampu melaksanakan tugas dan pekerjaannya di sektor domestik, yakni mencuci, memasak, mengurusi anak dan suami, seperti tercermin pada bagian dibawah ini.

Pambudi duduk dengan gamang sambil memijit-mijit kepalanya. Sejak perkawinan dengan Sarinah ia tak pernah merasa celaka karena situasi rumah yang seperti ini Sarinah adalah ibu rumah tangga yang selalu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dengan baik. Ia perlu sepiring nasi, sekerat daging, dan semangkuk sayur, tapi ia tidak tahu, bagaimana caranya sehingga di atas meja dapat terhidang makanan seperti ini ? Hari yang naas. Terpaksa Pambudi menyalakan kompor, menjerang air, dan menyeduh teh panas, memasak nasi dan menggoreng telur ceplok. Iapun duduk dan menghadap meja makan dengan nasi lembek seperti bubur dan telur yang terlalu asin, karena ia terlalu banyak bertabur garam. Pambudi teringat, betapa lezat kare buatan Sarinah, empuk nasi yang dimasak, dan gurih telur yang digoreng, belum lagi sambal terasinya. Sarinah ahli untuk hal yang satu ini, dan kini wanita itu telah pergi (Linggarsari, 2007:152).

Berdasarkan kutipan di atas tampak bahwa Sarinah mampu mengerjakan tugas di sektor domestik atau rumah tangga dengan baik. Begitupun ketika dia masih menjadi seorang anak yang berbakti kepada orangtuanya, Sarinah menurut pada apapun yang diinginkan orang tuanya, termasuk menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya.

Sarinah ingin berkata, bahwa perkawinan ini merupakan hasil kehendak Pambudi dan kedua orang tuanya, dirinya sebagai sang pinanganten bahkan tak pernah diminta persetujuannya. Tapi, kata-kata itu telah ditelannya kembali, ia terlalu mengasihi kedua orang tuanya, orang yang berpikir sederhana tentang kehidupan tanpa perlu mengetahui isi hatinya (Linggarsari, 2007 :24).

c. Ideologi Bapak-Ibuisme

Ideologi bapak-ibuisme menempatkan bapak sebagai sumber kekuasaan dan ibu sebagai salah satu perantara kekuasaan dalam masyarakat. Sebegai gambaran, hal itu tercermin pada tokoh orang tua Sarinah. Telah diketahui sebelumnya bahwa darah otoriter dan tradisi mengalir dalam diri ayah Sarinah. Hal itulah yang menyebabkan kekuasaan ada di tangannya. Setiap keputusan dan kebijaksanaan menjadi tanggung jawabnya. Maka, ketika Sarinah hendak dijodohkan dengan Pambudi, itupun keinginan dan kekuasaan ayah Sarinah.

Kenapa Nduk ? Ngantenan kok malah nangis ? Ndak baik begitu, ora ilok. Kamu ini harus bersyukur, menjadi sisihan seorang priyayi. Ndak usah kamu susah-susah seperti emakmu ini. Wong urip iki ming sakdermo nglakoni, orang hidup hanya sekadar melakoni ini semua. Semua ini sudah kersaning Gusti Allah, tidak usah pakai nangis-nangis, nanti nak Pambudi kurang hati”, wanita tua itu memijit-mijit lengan Sarinah (Linggarsari, 2007 :23).

Ibunya Sarinah sebagai seorang istri hanya bisa menuruti kebijakan suaminya. Sehingga, tak ada pembelaan atas diri Sarinah. Ibu Sarinah turut mendukung kebijakan suaminya, sekalipun hatinya limbung karena anaknya tak ingin dijodohkan. Namun, begitulah keadaannya ketika ibu menjadi perantara kekuasaan suaminya. Apapun kehendak suami, istri harus mendukungnya dan memberi pengertian pada anaknya. Perjodohan yang sebenarnya diputuskan oleh ayah Sarinah pun, harus diiyakan oleh ibu Sarinah sekalipun meninggalkan tekanan dalam diri anaknya.

Sarinah berjuang melawan tetesan air mata. Ia ingat akan nasehat ibunya, “Jangan tunjukkan kesedihan, kemarahan, kebencian, ketakutan, dan rasa senang kepada setiap orang secara berlebihan. Engkau tidak tahu isi hati orang lain dan apa yang direncanakan pada dirimu”.

Apa yang dilakukan Pambudi apabila ia menangis pada pagi pertama setelah resmi menjadi istrinya ? Sarinah tak mengenal laki-laki itu, kecuali ia telah duduk bersama dalam pakaian pengantin. Dan kini, laki-laki itu telah tidur bersamanya. Ibu selalu menekankan siap diam untuk menghadapi setiap kebimbangan, dan kali ini Sarinah membenarkan tekanan itu (Linggarsari, 2007 :11-12)

d. Ideologi Umum

Ideologi umum adalah ideologi yang menekankan nilai pemingitan (seclusion) perempuan, pengucilan perempuan dari bidang-bidang tertentu (exclusion), dan pengutamaan feminitas perempuan (Afshar dan Agarwal dalam Saryono, 1999).

Berdasarkan pada analisis ideologi familialisme, kenyataan bahwa pembagian kerja secara seksual menempatkan laki-laki di sektor publik, sedangkan perempuan di sektor domestik. Berdasarkan ideologi umum pekerjaan tertentu yang berkaitan dengan sektor publik dianggap hanya layak dilakukan oleh laki-laki, sementara itu pekerjaan tertentu yang berkaitan dengan sektor domestik hanya layak dilakukan oleh perempuan. Dengan demikian, ketika perempuan berada di wilayah laki-laki dianggap suatu hal yang tidak wajar. Karena sudah di sosialisasikan, dan diinternalisasikan dari generasi ke generasi, pembagian kerja secara seksual ini tidak hanya dihayati oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan, seperti oleh Sarinah.

Sarinah menempati posisi sebagai perempuan yang melaksanakan tugas di sektor domestik. Ia tak diberi kepercayaan oleh suami untuk turut andil dalam mengurusi pekerjaan di sektor publik yang hanya mampu dilakukan Pambudi sebagai seorang sinder. Keadaan tersebut seperti telah ditentukan Pambudi sebagai kepala rumah tangga. Berbeda halnya dengan Pursilah yang memang memiliki kemampuan untuk mencari nafkah dari kemahirannya meronggeng.

Meskipun Pursilah menempati tugas di sektor publik, ia tetap merindukan kehidupan perempuan di sektor domestik. Pada kesimpulannya ideologi umum yang di representasikan dalam Ronggeng mengucilkan perempuan pada bidang-bidang tertentu.

Ketidakadilan Gender

Ketidakadilan gender jelas tercermin dalam novel Ronggeng. Hal itu terlihat ketika munculnya ketidaksetaraan hak yang diperoleh antara laki-laki dan perempuan. Saat Pursilah meronggeng dengan tubuhnya yang sintal dan pakaian yang ketat disertai goyangan dan tata rias yang jelas menarik birahi setiap laki-laki. Apalagi, setiap usai meronggeng, dengan kecantikannya Pursilah harus melayani setiap laki-laki dalam sebuah kamar yang remang.

Tapi pada kali yang lain, pada sebuah pertunjukan bebas, maka setiap laki-laki yang bermurah hati dapat menyelipkan uang di balik kemben. Tuak akan diedarkan untuk memabukkan suasana, dan akhirnya seorang laki-laki dapat memandangnya, dapat membawanya ke sebuah bilik, mengunci daun pintu, dan memperlakukan sesuai dengan dorongan hati. Setelah menebar daya pikat dengan menari, dengan kemben yang ketat, maka di dalam sebuah bilik, seorang ronggeng akhirnya tetaplah sebagai sundal (Linggarsari, 2007:6)

Keadaan di atas jelas kemungkinan kecil terjadi pada laki-laki. Laki-laki tak menarik birahi perempuan dengan ketampanan dan keseksiannya, namun dengan kewibawaan dan kekayaannya—lumrahnya seperti itu. Seperti terlihat ketika Pambudi menarik hati Pursilah. Selain itu, ketika laki-laki berkuasa atas diri seorang ronggeng, maka ia harus memenuhi segala keinginan laki-laki tersebut tanpa bisa menolak atau memberontak. Hal itu tak terjadi pada diri laki-laki pada umumnya.

Ketidakadilan gender yang paling terasa yakni ketika Pursilah sebagai seorang ronggeng harus selalu sedia dan siap melayani tamu laki-laki, maka ia tidak diperkenankan untuk hamil dan menikah—padahal itu kodrat sebagai wanita. Keinginan itu muncul menjadi pemberontakan dalam diri Pursilah. Meskipun tidak mendapat restu dari Nyai, ia mendekati Pambudi dan ingin dinikahi. Takdir berkata lain, ia mati dengan ketikberdayaannya dan ketidakadilan gender yang ia terima.

Seorang yang menjadi milik banyak laki-laki tanpa adanya perjanjian. Untuk sekali dalam hidup tiba-tiba Pursilah menyesali nasibnya. Mengapa dirinya harus menjadi seorang ronggeng? Bukan seorang Sarinah, kembang desa yang disunting secara terhormat oleh seorang priayi? (Linggarsari, 2007:5)

Sarinah pun mengalami ketidakadilan gender sebagai seorang perempuan. Tak ada kesempatan baginya untuk berontak dan keluar dari sistem dan tradisi masyarakat. Ketika sistem patriarki serta feodalisme hadir dan berkuasa, perempuan selalu dianggap korban. Kekuasaan yang dipegang ayah dan suaminya, menyebabkan penderitaan batin dalam diri Sarinah. Perjodohan dianggap sebagai awal kekuasaan yang meninggalkan jejak ketidakadilan hak bagi laki-laki dan perempuan, bagi Sarinah itu sendiri. Gadis itu hanya bisa menyerah, tanpa bisa menolak kekuasaan laki-laki. Tak bisa memilih dan mengambil jalan sendiri, seperti halnya laki-laki. Seperti halnya Pambudi, ketika memilih menikahi Sarinah.

Hari ini ia sudah berbeda dengan hari kemarin. Ia tak memiliki lagi kebebasan seekor burung untuk mengepakkan sayap menuju sarang yang menentramkan. Ia bahkan tak tahu lagi apa yang disebut ketentraman, karena perhelatan ini telah mengoyak-koyak bagian hidupnya yang paling pribadi. Ia tak berhak lagi atas apapun. Segalanya telah selesai. Hari ini ia hanya bagian hidup dari seorang laki-laki yang tak dikenal yang telah menyuntingnya. Ia akan menjadi seorang pelayan yang harus bangun lebih awal untuk membereskan seisi rumah, menyiapkan sarapan, mencuci pakaian kotor, menyeterika, membereskan pekarangan rumah, dan menjadi teman di peraduan kemudian menerima gaji setiap bulan. Sarinah harus melakukan semua itu karena ia tak punya pilihan. Atau, ia akan menerima siksaan dari pihak suami karena alasan pembangkangan (Linggarsari, 2007:13)

Ketika akhirnya Pambudi mengajukkan lamaran dan orang tua Sarinah menerima dengan tangan terbuka, Sarinah hanya terdiam. Ia kehilangan seluruh hak akan untuk mengatur kehidupannya sendiri, termasuk dalam hal memilih teman hidup. Ia memang tolol dalam hal yang satu ini. Ketika hari perkawinan tiba, Sarinah tetap diam, ia tak kuasa memberikan perlawanan karena memang tak memiliki satu alasan pun (Linggarsari, 2007 :19)

Tak hanya itu, ketidakadilan juga muncul ketika laki-laki diperbolehkan selingkuh. Pambudi dapat bebas berselingkuh dengan Pursilah, seperti tamu-tamu laki-laki yang beristri juga berselingkuh dengan Pursilah. Sarinah dan perempuan lain tak bisa melakukan hal yang serupa. Sekali lagi ketidakadilan gender terjadi. Perempuan dianggap korban dari sistem dan kekuasaan yang dimiliki laki-laki.

Engkau tak pernah tahu bagaimana perkawinan Pambudi yang sebenarnya, engkau tak pernah mendengar kemarahan seorang istri karena kedatangan wanita lain dalam perkawinannya. (Linggarsari, 2007:99)

Begitu juga terlihat dalam percakapan antara Pambudi dengan Permadi, teman kantor Pambudi berikut ini:

“Aku tak bisa kehilangan anak dan istriku, dan ronggeng itu cukuplah sebagai…?”

“Sebagai apa? Teman di kegelapan? Ha...ha...ha...!”

“Engkau dulu lebih parah dari semua orang yang pernah melakukan kesalahan”.

“Hampir semua laki-laki seperti itu, tapi bedanya, aku tak pernah membuat seorang ronggeng tergila-gila hingga dengan sukarela telah datang dan menetap di rumahmu. Mungkin ia berminat menjadi istrimu”. (Linggarsari, 2007:162)

Simpulan

Ivan illich-matinya gender-pustaka pelajar-Yogyakarta-2001

Kajian Budaya Feminis (Tubuh, Sastra, Budaya Pop)-Aquarini Priyatna Prabasmoro-Jalasurta, Bandung&Yogyakarta, 2006

Sastra, Perempuan, Seks-Katrin Bandel-Jalasutra-Bandung&Yogyakarta-2006

Susastra 2 (Jurnal Ilmu Sastra dan Budaya) Volume1 Nomor2-2005-Himpunan Sarjana- Kesusastraan Indonesia-Jakarta

Kritik Sastra Feminis (Teori dan Aplikasinya)-Sugihastuti Suharto-Yogyakarta-Pustaka Pelajar-2005

Feminis Thought-Rosemarie Putnam Tong-Jalasutra-Yogyakarta&Bandung-2008

Austin Warren dan Renne Wellek –Teori Kesusastraan- Gramedia Pustaka Utama-Jakarta, 1993

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI