si Weni (cerpen)

“Abah¹, kira-kira si Gareng dimarahin ga ya sama si Semar?”

“Umi², pertanyaan abah saja belum umi jawab”, sepertinya abah mulai kesal.

Memang, aku sudah bisa menebak dan menerka bahwa suamiku itu pasti sangat kesal akan kejadian tadi siang. Tapi, sesusahpayah apapun abah membujukku untuk memberitahu sesuatu tentang kotak itu, aku tetap enggan mengatakannya sekarang. Ini tidak mungkin.

Ada sesuatu yang sulit lidahku bicarakan, seperti si Gareng yang sedari tadi diam karena takut ketahuan Semar bahwa dialah yang membocorkan rahasia itu. Hmm...tapi bersyukurlah Gareng, toh aku percaya rahasia itu bukan rahasia yang terlalu penting, berbeda dengan...

“Umi, ko malah bengong ?”, abah kayanya semakin kesal, “Itu lho, pertanyaan abah tentang artikel yang umi tulis kemarin di koran !”

“Hmm...kirain pertanyaan apa !”, huuh, aku pikir abah masih kesal sama kejadian itu, taunya ! kuhirup dulu nafasku dalam-dalam. Sedari tadi siang rasanya dadaku sesak. Ku geser pelan-pelan bantal yang sejak sejam lalu membuat leherku pegal. Saat-saat seperti inilah aku merasa umurku sudah terlalu tua, meski tak setua abah. Bulan depan usiaku genap menginjak 40 tahun dan bulan depannya giliran suamiku merasakan ketuaannya di usia 46 tahun. Ternyata aku dan abah memang sudah tua ya. Pantas, kita mudah merasa lelah dan terserang sakit. Tapi, untunglah kita berdua masih sanggup menulis dan bergiat dalam budaya Sunda. Aku dan abah memang tertarik pada budaya di tanah kelahiranku ini. Budaya Sunda.

“Ya, umi pikir kisahnya Weni itu memang bukan sekedar mitos saja. Nyatanya jaman umi waktu sekolah rakyat dulu, banyak kejadian anak hilang di desa umi ”.

“Tapi, apa iya mereka hilang karena diculik si Weni seperti tulisan umi ? ”, nampaknya abah penasaran sekali, sampai-sampai serial Punakawan di layar kaca tak lagi mencuri perhatiannya. Posisi tubuhnya pun lebih tegak daripada tadi ketika abah sedang kesal padaku.

“Kata warga desa sih begitu. Soalnya anak-anak mereka hilang menjelang malam usai adzan maghrib tepatnya”, seingatku sih begitu.

۩ ۩

Kejadian itu rasanya masih menempel di otakku yang tidak lebih besar dari buah kelapa. Bagaimana tidak? Rasa sakit itu masih aku rasa sejak sepuluh tahun yang lalu. Malam itu tepatnya hari Kamis malam satu syuro, masih tampak keringatku meleleh di sekujur tubuh karena cemas. Danu, suamiku masih keukeuh kumeukeuh³ kalau saat itu semua baik-baik saja.

Aku percaya, firasat seorang ibu memang jarang sekali meleset. Saat itu, aku begitu yakin terjadi sesuatu yang buruk menimpa Hasan. Usai sholat maghrib dan sejak ia pamit menemui Kyai Tapa, guru madrasahnya, hingga weker menunjukkan pukul sembilan malam, batang hidungnya belum juga menampakkan tanda-tanda ia pulang. Hati ibu mana yang tidak gundah memikirkan anaknya yang belum kembali hingga larut malam.

Tidak biasanya Hasan keluar malam itu, pasalnya pengajian tengah libur karena Kyai Tapa sibuk menyiapkan acara besok pagi. Seingatku, Hasan pergi ke rumah gurunya itu untuk mengambil naskah tembang yang akan ia bawakan esok. Sebuah tradisi akan dilaksanakan, peringatan Maulid Nabi Muhammad yang tak boleh dilewatkan siapapun termasuk anakku. Esok, Hasan akan nembang membawakan syair pupujian terhadap Rasulullah, seperti yang ia lakukan pada Muludan tahun lalu. Namun, aku lupa bahwa saat itu menujukkan malam satu syuro. Menurut kepercayaan nenek moyangku di desa, malam satu syuro adalah malam dimana setiap arwah akan bergentayangan. Sehingga, keberadaan mereka dapat menjadi ancaman terhadap mitos-mitos yang dilanggar manusia manapun. Dan, Hasan telah melanggar mitos bahwa setiap menjelang malam semua anak-anak tidak diijinkan ke luar rumah dengan alasan apapun. Saking sakralnya keberadaan malam satu syuro, sampai-sampai tanggal ini pernah menjadi judul sebuah film horor yang dimainkan Suzanna. Tapi, yang penting bukan masalah Suzanna. Hasan. Ya, ia di mana?

Aku memang ibu yang teledor. Gegabah. Aku telah membiarkan anakku pergi menemui ancaman terhadap mitos itu. Makin kesal saja aku, Danu tak juga mengingatkankku akan mitos itu. Itu malah menyalahkan aku. Lantas marah-marah, dan mondar-mandir ke sana kemari saja.

Pikiranku makin kalut malam itu, hatiku makin resah. Aku dan Danu memutuskan mencari Hasan ke setiap rumah warga termasuk ke kediaman Kyai Tapa di dusun seberang. Tak ada yang kupikirkan, selain harus kutemukan anak sematawayangku itu. Tapi, bukan kabar baik yang kutemui di setiap pintu rumah warga. Mereka justru menyalahkan keteledoranku menjaga Hasan. Apalagi kehilangan Hasan dikait-kaitkan dengan kisah si Weni. Entahlah, percaya atau tidak, aku hampir gila oleh mitos-mitos yang telah memakan anakku.

Malam makin gelap dan dingin, Hasan belum juga ditemukan. Namun seorang nenek yang biasa dipanggil Nyi Irah, mengatakan bahwa ia sempat mendengar suara tangis anak kecil di tepi hutan yang tak jauh dari rumahnya. Suara itu begitu menyakitkan, seperti sakitnya hatiku kala itu. Tanpa pikir panjang, Danu bersama warga segera berlari menuju tepi hutan di kaki Galunggung. Aku berharap suara Hasanlah yang didengar Nyi Irah tadi.

Ibu-ibu di sana masih terus menenangkan perasaanku, sambil sesekali mereka menyanyi untuk menghiburku. Padahal Asmarandana yang mereka lagukan tak cukup membuatku menghela nafas panjang. Aku jadi ingat kejadian dua tahun lalu yang menimpa Nyi Irah. Janda itupun mengalami hal yang serupa denganku. Purwa, cucunya juga sempat menghilang pada malam satu syuro. Namun, beruntunglah nasib Nyi Irah kala itu. Purwa berhasil ditemukan warga di sebuah mesjid kecil di desa.

Ternyata kehilangan Purwa tak ada kaitannya dengan mitos itu. Ia hilang ketika akan pergi ke rumah salah satu temannya. Dalam perjalanan, tiba-tiba saja hujan turun. Pintarnya Purwa, ia segera berteduh di dalam mesjid sampai warga menemukannya sebelum larut malam.

Kejadian Purwa itu seolah tiba-tiba saja membuatku berpikir sedikit tenang. Aku berharap Hasan bernasib sama dengan Purwa. Aku jadi tak sabar menunggu Danu dan warga yang lainnya kembali membawa anak berumur delapan tahun yang hitam manis itu. Nyi Irah yang terduduk di sampingku pun sepertinya berharap agar Hasan dapat ditemukan seperti cucunya dulu. Aku bisa melihat ia mengatakan itu dari sorot matanya yang teduh.

Malam makin panjang dan sudah semakin larut. Danu belum kembali. Aku belum melihat tangannya menggenggam seorang anak lelaki dengan tawa yang khas berbaju hijau tua kesayangan. Aduh, aku jadi kembali cemas. Di ruangan ini aku hanya bisa menebak-nebak apa yang terjadi pada Hasan.

Subuh hampir menjelang, akhirnya aku melihat Danu dan warga yang lain kembali. Betapa bahagianya hatiku kala itu. Seorang anak lelaki yang setiap hari selalu hidup dengan senyuman tengah digendong Danu. Ia adalah Hasan yang sedari tadi membuatku cemas. Hasan kembali. Namun, ia masih menangis, persis seperti yang dikatakan Nyi Irah. Aku mengerti, barangkali Hasan masih ketakutan.

Paginya, ketika Muludan akan digelar dan warga desa mulai ramai serta sumringah, aku malah terkaget-kaget menyaksikan keadaan anakku di atas ranjang. Kupikir dengan kembalinya ia ke rumah, semua kembali baik seperti yang diharapkan. Tapi, aku salah. Tebakanku juga salah. Tangisan Hasan belum juga reda. Sampai saat ini ia tidak bisa tertidur. Ia mengigau seperti orang kerasukan dedemit dan tubuhnya pun demam tinggi seperti menahan rasa sakit yang tiada henti. Ada apa dengan Hasan?

Pertanyaan itu berkali-kali menghantui aku dan Danu. Dan, semakin menghantuiku saat tubuh Hasan seperti mati suri. Danu segera menemui Kyai Tapa dan menyuruhnya menemui Hasan. Untunglah Kyai Tapa bersedia datang, padahal aku tahu ia tengah direpotkan acara itu. Maklum Muludan termasuk acara besar di desaku, karena perayaan tahun ini akan digabungkan dengan desa seberang, tepatnya desa sebelah barat Galunggung, Tasikmalaya.

Aku tak menyangka Kyai Tapa menemuiku dengan wajah kusut usai ia memeriksa keadaan Hasan. Perasaanku semakin gelisah. Aku tahu ada kabar buruk akan disampaikan Kyai padaku. Ternyata benar. Namun, tak lama aku berbicara empat mata dengan Kyai, Danu tiba-tiba berteriak dan menangis. Tanpa pikir panjang aku menghampirinya. Seorang anak tampan tergolek kaku di pangkuan suamiku. Wajahnya pucat pasi. Dan lebih mengiris lagi, aku baru menyadari aku telah kehilangan anak sematawayangku, Hasan.

Sungguh, semua ini semakin lengkap ketika seminggu kemudian aku diputuskan menjadi seorang randa sebatang kara. Danu menyusul kepergian Hasan ketika sebuah kecelakaan kereta menimpanya. Aku masih bisa mengingat senyumannya ketika hendak pamit menemui ibunya yang sedang sakit keras di Solo. Ya, lengkaplah tragedi memilukan dalam hidupku. Aku sempat mengalami depresi. Depresi akan kehilangan anak dan suamiku, juga depresi akan cerita yang disampaikan Kyai Tapa sebelum Hasan meninggal dunia.

Rasanya dadaku sesak...

۩ ۩

“Umi, kok jadinya malah melamun ”, abah mengagetkanku saja.

“Iya, kenapa bah ?”, aduh aku tidak bisa membendung air mataku lagi nih.

“Lho, ko umi malah nangis ?”,“Umi, mikirin apa?“, “Abah cuma ingin dengar cerita umi tentang kisahnya si Weni dalam artikel umi itu”

۩ ۩

Aduh makin sesak saja dadaku. Sulit aku jelaskan hal itu sama Abah. Bagaimana tidak? Kisah si Weni dalam artikel yang kutulis merupakan cerita yang terjadi pada Hasan yang dulu disampaikan Kyai Tapa padaku.

Ia berkata bahwa keadaan Hasan setelah ia sempat menghilang itu berkaitan erat dengan keberadaan si Weni, Kalong Wewe yang selama ini menjadi mitos di desaku. Kala itu, Hasan bukan menghilang tanpa sebab. Weni telah menculiknya, begitu dikatakan Kyai Tapa. Tangisan Hasan serta ketakutan yang dialaminya pun dikabarkan akibat disiksa oleh Kalong Wewe itu selama ia diculik. Hasan disembunyikan di sebuah pohon beringin tua tepi hutan. Entah apa yang terjadi kemudian, namun satu hal yang aku tahu. Hasan meninggal gara-gara si Weni.

Weni adalah nama asli si Kalong Wewe itu. Bertahun-tahun ia hidup sebagai mitos di desaku. Ia muncul untuk menculik anak-anak yang berkeliaran setiap menjelang malam, khususnya pada malam satu syuro. Dulunya Weni adalah seorang perempuan yang berubah menjadi Kalong Wewe akibat perbuatannya sendiri. Anak dan suaminya pernah ia abaikan hingga hilang, ketika ia terperosok dalam dunia bebas. Ia menjadi seorang pemabuk sampai-sampai kekayaannya pun hancur, karena ia dijebak oleh musuhnya yang merupakan saudara tirinya sendiri. Ketika menyadari dirinya hancur, ia berguru pada Batari Durga dan berharap bisa berubah wujud menjadi kelelawar guna mencari anaknya yang hilang. Batari Durga mengabulkannya. Akhirnya, Weni berubah menjadi Kalong Wewe untuk mencari anak-anak.

Kiranya mitos Weni alias Kalong Wewe itulah yang masih dipercayai warga di desa, termasuk aku. Percaya atau tidak, kejadian aheng itu aku alami, tepatnya dialami langsung oleh Hasan.

Ah, sudahlah aku malas meneruskannya. Kisah-kisah itu selalu membuatku terluka.

۩ ۩

“Lain kali saja ya bah, aku ceritakan !”, “Lagian ini sudah malam, umi juga sudah ngantuk”, aku coba untuk mengalihkan perhatian abah terhadap kisah si Weni.

“Ya, sudahlah jika umi tidak mau cerita sekarang. Tidak apa-apa”, “Oya, satu pertanyaan lagi sebelum umi tidur”, abah ini ya...

“Ini tentang kotak yang tadi siang abah temukan di gudang belakang yang hampir abah buang. Itu kotak apa ?”, nampaknya abah masih saja penasaran dan kesal saja sama kotak itu. Hmm...gara-gara kotak itulah tadi aku hampir bertengkar dengan abah.

Kotak itu sudah lima tahun yang lalu aku simpan di gudang sejak aku menikah dengan abah. Isinya adalah gambar aku beserta Danu dan Hasan, serta sehelai kertas bertuliskan alamat desaku dulu ketika aku masih hidup bersama kenangan sedihku :Desa Gunung Sari, Indihiang, Tasikmalaya. Alamat itu ada sebelum aku pindah ke Lembang, Bandung, lalu bertemu suamiku kini. Ya, hanya itu saja.

“Lain kali juga ya umi ceritakan tentang kotak itu, sekarang umi sudah ngantuk”, sebenarnya sih belum cuma aku tidak ingin abah terus menanyakannya. Aku harap suatu hari nanti aku dapat menceritakannnya pada abah. Tapi aku akan lega seandainya abah menemukan jawaban semua pertanyaannya itu sendiri.

“Umi, tidur dulu ya !”, “Memangnya abah belum ngantuk ya ?”

“Ya, umi tidurlah duluan ! ”, “Abah masih ingin menonton wayang Punakawan !”

۩ ۩ ۩

Cimahi, 2008

Catatan

¹Abah = panggilan terhadap kakek atau ayah di daerah Sunda, tapi dalam cerpen ini abah

merupakan panggilan istri kepada suami

²Umi = panggilan terhadap ibu, tapi dalam cerpen ini umi adalah panggilan suami kepada

istrinya

³Keukeuh kumeukeuh = teguh pendirian (bahasa Sunda)

Muludan = Peringatan Maulid Nabi Muhammad (bahasa Sunda)

Dedemit = Jin, hantu, roh, atau mahluk halus (bahasa Sunda)

Randa = Janda / perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suaminya (bahasa Sunda)

Aheng = aneh (bahasa Sunda)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI