DARI SUMUR CIPANGANTEN KE TAMAN RAFLESIA

oleh Acep Zamzam Noor

SEBAGAI daerah yang memiliki sejumlah situs dan tempat bersejarah seperti Astana Gede, Karang Kamulyan, Jambansari dan Situ Panjalu, kesenian di Ciamis mempunyai “karakter” yang berbeda dengan daerah-daerah lain. Sejumlah kesenian tradisional masih tetap hidup sampai kini. Kelompok-kelompok kesenian seperti teater dan tari tidak hanya marak di kota namun juga berkembang di Buniseuri dan Kawali. Begitu juga sastra, khususnya puisi, ditulis para penyair di Bojonghuni, Banagara, Sikuraja, Cigembor, Rancah, Rajadesa, Ciulu, Padaherang sampai Pangandaran. Kesenian tidak memusat di kota (mungkin karena Ciamis belum mempunyai gedung kesenian yang permanen), tapi menyebar ke desa-desa. Minat membaca puisi pun cukup tinggi, terbukti pada setiap lomba baca puisi yang digelar Sanggar Sastra Tasik (SST) peserta dari Ciamis selalu mencatat rekor tersendiri, di samping peserta dari Garut.

Semangat kesundaan dari para seniman Ciamis juga sangat kuat. Semangat ini bukan hanya karena ada Godi Suwarna, seorang penyair Sunda terkemuka. Juga bukan karena para penyair Ciamis lebih banyak menulis puisi dalam bahasa Sunda ketimbang Indonesia. Kesundaan nampaknya telah menjadi atmosfir berkesenian para seniman Ciamis sejak dulu, baik dalam sastra, teater, musik, senirupa, tari dan lain-lain. Kehadiran Godi Suwarna lebih mempertegas kecenderungan yang sebelumnya sudah ada, dan tentu saja memberi arah yang jelas pada gerakan kebudayaan di tatar Galuh ini. Dalam gerakan-gerakannya, Godi Suwarna mencoba menafsirkan kembali semangat “bihari” dalam memaknai “kiwari”. Hal ini nampak sekali dalam “Nyiar Lumar”, sebuah festival kesenian dua tahunan yang digagasnya. Festival kesenian yang biasa digelar di situs Astana Gede ini sangat kental dengan atmosfir Sunda, atau lebih tepatnya atmosfir Galuh.

Sekitar tahun 1997-2000 saya sempat tinggal di Ciamis. Meski tidak tinggal sepenuh waktu karena masih harus berbagi dengan kegiatan di Tasikmalya, saya bisa merasakan sebuah atmosfir berkesenian yang khas. Seperti juga di daerah-daerah lain, di Ciamis banyak sekali kelompok-kelompok kesenian, mulai dari teater, sastra sampai tari. Satu hal yang membuat saya terkesan adalah komunikasi di antara kelompok-kelompok kesenian tersebut sangat baik. Jauh sebelum Kulawargi Galuh Budaya (KGB) berdiri, semangat kebersamaan antar seniman di Ciamis sudah terasa. Komunikasi ini bukan hanya di kalangan teater dan sastra saja, tapi juga dengan para seniman tradisional. Seniman-seniman mutakhir seperti Neng Peking, Nur Z.M., Cah Cahyono, Anggi Sri Wilujeng, Jaro X. Yus, Dadang Q. Mosh, Yan Anwar, Ajat Sogol atau Ujang Eser sangat akrab dengan Pa Daday, Mang Yaya, Pa Jaja maupun Nyi Raspi dan Ibu Encin yang seniman tradisional. Tak jarang mereka pun berkolaborasi dalam sebuah garapan.

Semangat kesundaan ini juga nampak pada cara mereka berpakaian. Bukan kebetulan jika para seniman Ciamis sangat memperhatikan masalah penampilan, khususnya pakaian yang berbau etnis Sunda. Pakaian mereka memang tidak seragam namun masing-masing merancangnya sendiri (kampret, kebaya, celana komprang, batik, sarung poleng, iket dan batu akik). Kostum seperti ini bukan hanya dipakai pada acara-acara kesenian, tapi sudah menjadi pakaian sehari-hari. Cah Cahyono misalnya, meski ia seorang pemusik rock namun sehari-harinya tak pernah lepas dari baju kampret, celana komprang, iket dan batu akik. Begitu juga Jaro X. Yus, Yan Anwar dan Ujang Eser sangat akrab dengan baju kampret dan celana komprang dari kain poleng.

Semangat kesundaan tidak hanya dimanifestasikan dalam karya, judul acara dan cara berpakaian saja, namun juga dilakoni secara spiritual. Setiap malam Jum’at kliwon Godi Suwarna bersama teman-temannya (bahkan kalangan pejabat) meruwat diri di sumur Cipanganten, Buniseuri. Tidak hanya dari Ciamis, tapi juga teman-teman dari Tasikmalaya, Bandung, Yogya, Solo, Jakarta dan bahkan mancanegara sering diajaknya. Konon sumur yang dulunya tempat mandi para puteri Galuh ini dipercaya bisa meningkatkan aura, kreativitas dan vitalitas. Saya sempat beberapa kali ikut mandi dan merasakan langsung pengaruhnya. Tak heran jika beberapa seniman Ciamis kini mempunyai kemampuan lain di luar kesenian. Kidung Purnama yang konon masih keturunan Ciung Wanara misalnya, selain penyair dan pelukis ia pun menguasai ilmu pengobatan alternatif. Begitu juga Nur Z.M. yang mampu menyarang hujan dan mengikat penonton untuk tidak pulang seperti halnya seorang dalang Wayang Golek.

Terlepas percaya atau tidak sumur Cipanganten belakangan ini semakin populer, khususnya di kalangan seniman. Pelantikan anggota baru kelompok teater biasanya diakhiri dengan mandi di sumur ini. Beberapa penyair “jomblo” pun diruwat dan dimandikan di sumur ini. Dian Jaka Sudrajat, Nazarudin Azhar dan Eriyandi Budiman dari SST mendapat jodoh setelah saya bawa ke sumur ini. Linda Cabelita ditawari rekaman dangdut setelah mandi di sumur ini. Daniel F. Levi membeli mobil baru setelah mandi di sumur ini. K.H. Maman Imanulhaq Faqih menjadi mubalig kondang setelah saya ajak juga mandi di sumur ini. Enung Sudrajat menjadi wakil ketua KPU setelah saya beri minum air sumur ini. Godi Suwarna banyak mendapat pencerahan dan menemukan gagasan setelah rutin berendam di sumur ini. “Nyiar Lumar”, “Riak Ramadhan” dan “Milang Kala Tatar Galuh” yang merupakan tiga kegiatan rutin dari KGB tak bisa dilepaskan dari sumur bersejarah ini.

Meski di Ciamis ini banyak sekali kelompok kesenian yang terus berlatih dan berproses, namun frekwensi kegiatan masing-masing kelompok tidak terlalu tinggi. Ini cukup menarik karena sepertinya seluruh enerji dan kreativitas kelompok-kelompok kesenian di Ciamis dikonsentrasikan pada tiga kegiatan bersama, yakni “Nyiar Lumar”, “Riak Ramadhan” dan “Milang Kala Tatar Galuh”. Dan yang perlu dicatat bahwa ketiga kegiatan kolosal ini (biasanya disaksikan sampai hampir seribuan penonton) semuanya digelar di alam terbuka, baik di Astana Gede maupun di Taman Raflesia, bukan di dalam gedung kesenian seperti halnya di kota-kota lain.

“Nyiar Lumar” seperti telah saya singgung di muka adalah sebuah festival kesenian dua tahunan. Godi Suwarna menggagas kegiatan ini dengan konsep ingin mengembalikan kesenian kepada alam dan masyarakat. Astana Gede yang notabene adalah hutan yang penuh dengan pohon-pohon besar, batu-batu prasasti dan kuburan dijadikan arena pertunjukan. Tak ada panggung permanen, tak ada lighting dan sound-system. Tak ada listrik. Cahaya datang dari sinar bulan dan sejumlah damar sewu. Setiap seniman yang tampil harus bisa menyesuaikan diri dengan kondisi alam. Begitu juga masyarakat yang menonton. Kesenian, alam dan masyarakat menjadi satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Festival yang dimulai dengan pawai obor keliling kampung ini berlangsung semalam suntuk pada saat bulan tengah purnama.

Ratusan seniman dari berbagai genre tampil, baik yang tradisional, modern maupun kontemporer. Tari, dramatik reading, baca puisi, performance art, teater (mulai dari yang konvensioanal sampai yang kolosal), monolog dan sejumlah kesenian tradisional seperti Genjring Ronyok dan Ronggeng Gunung. Materi acara disusun dengan alur yang mengacu pada salah satu episode dari sejarah Galuh. Arena pertunjukan disebar di sejumlah situs dan berakhir di bekas alun-alun kerajaan. Di beberapa sudut terdapat juga karya instalasi yang merespons alam.

Pertunjukan bergerak dari situs ke situs dengan irama yang terus merambat naik. Mulai dari yang kontemplatif, naratif sampai yang ekspresif. Dan berakhir dengan menari ronggeng bersama Nyi Raspi pada dini hari. Keesokan harinya acara dilanjutkan dengan memancing ikan di sungai yang sengaja dibendung dan ditanami ikan. Acara memancing ini merupakan bagian dari merayakan kesenian.

Berkesenian di daerah seperti Ciamis atau Tasikmalaya berbeda dengan berkesenian di kota-kota besar yang infrastrukturnya sudah tersedia dan publiknya sudah jelas. Seniman daerah tidak bisa hanya memikirkan bagaimana berkarya namun juga harus membangun infrastruktur dan menciptakan publiknya sendiri. Mereka harus menjalin komunikasi dengan masyarakat dan mampu meyakinkan aparat agar tidak curiga. Apa yang dilakukan KGB dengan “Riak Ramadhan” dan “Milang Kala Tatar Galuh” adalah semacam siasat untuk mengatasi problem-problem tersebut. KGB tidak mengundang penonton ke tempat pertunjukan seperti biasanya, namun langsung menggelar kesenian di ruang publik. Dengan begini komunikasi yang sering menjadi problem di daerah-daerah lain bisa terjalin dengan baik.

“Riak Ramadhan” dilaksanakan setiap bulan puasa sebagai acara ngabuburit yang bisa berlangsung sampai sepuluh hari secara terus menerus. Setiap bulan puasa alun-alun Ciamis selalu dipenuhi ratusan bahkan ribuan orang setiap sorenya, mulai dari anak-anak sampai kakek-kakek. Mulai yang duduk-duduk, yang tiduran, yang jalan-jalan sampai yang lari-lari. Di alun-alun itulah KGB menggelar panggung pertunjukan dengan memanfaatkan Taman Raflesia sebagai latarnya. Sekitar empat sampai lima kelompok kesenian ditampilkan setiap harinya. Selain kelompok-kelompok yang berasal dari berbagai daerah dan juga sekolah-sekolah di Ciamis, juga tampil seniman-seniman dari Tasikmalaya, Garut dan Bandung. Acara ini juga menjadi ajang silaturahmi para seniman asal Ciamis yang tinggal di kota lain. Muhammad Tosin dari Yogyakarta selalu hadir dan mengadakan demo melukis di tengah-tengah penonton. Begitu juga Minovita Jawas, peragawati ibukota selalu mudik lebih awal dan menikmati acara ngabuburit ini bersama para seniman.

Siasat yang dilakukan KGB dalam membangun komunikasi dengan publik cukup berhasil. Penonton kemudian terbentuk dengan sendirinya. Kerumunan massa yang tadinya cair dan liar, begitu acara dimulai langsung terkonsentrasi di sekitar panggung. Sebuah komunikasi budaya telah terjalin antara seniman dan masyarakat. Musik, kasidah, shalawat, genjring, kecapi suling, tari, puisi atau performence art hadir di tengah bunyi petasan, anak-anak yang menyewakan komik, ibu-ibu yang berjualan makanan dan macam-macam orang yang menunggu datangnya magrib. Proses komunikasi seperti inilah yang kemudian menjadi tradisi di Ciamis. Setiap ada panggung di Taman Raflesia, meski bukan bulan puasa, dengan sendirinya penonton berkumpul tanpa susah payah lagi melakukan publikasi.

***

Beberapa waktu yang lalu KGB menggelar “Milang Kala Tatar Galuh”, yang merupakan acara peringatan hari jadinya Ciamis versi seniman. Disebut versi seniman karena pemerintah juga melakukan hal yang sama pada tanggal yang berbeda. Peringatan yang diisi dengan karnaval dan pentas seni tradisional sudah berlangsung berkali-kali. Karnaval digelar pada sore hari sedang pentas seni tradisional dilangsungkan pada malam harinya. Karnaval dan pentas seni tradisional merupakan satu kesatuan karena para seniman yang tampil juga sekaligus terlibat dalam karnaval.

“Milang Kala Tatar Galuh” kali ini cukup semarak karena melibatkan begitu banyak massa. Puluhan kelompok kesenian yang masing-masing kelompoknya terdiri dari puluhan sampai ratusan orang berpawai keliling kota. Selain kelompok kesenian, karnaval ini juga didukung oleh utusan dari sekolah-sekolah yang ada di Ciamis. Para siswa ini bukan hanya berbaris dengan kostum yang aneh-aneh, tapi juga menunjukkan kebolehan dengan atraksinya masing-masing. Dan yang namanya karnaval, tentu saja akan melibatkan masyarakat di sekitar rute yang dilalui. Mereka tergoda untuk melebur dalam iring-iringan dan sekaligus menjadi penonton pertunjukan.

Karnaval dimulai dari halaman gedung DPRD Ciamis. Sebuah seremonial singkat dilakukan oleh Godi Suwarna dan seorang pejabat pemda, dengan menciprat-cipratkan air Cipanganten ke halaman kantor wakil rakyat. “Dengan air Cipanganten ini mudah-mudahan para wakil rakyat tercerahkan pikirannya dan dihidupkan kembali hatinya yang sudah mati,” ujar Godi Suwarna singkat. Sebagai komandan upacara, Azim dan Oyik yang berkostum ala Gatotkaca memberikan laporan tentang situasi keamanan dan kesiapan para peserta mengikuti karnaval. "Setuasi cukup kondusif dan terkendali..." teriak Azim dan Oyik penuh semangat.

Begitu kendang penca dan terompet berbunyi, rombongan barongsay langsung menari-nari sambil melenggang-lenggokkan ular naganya. Di belakangnya berbaris aktifis KGB yang dipimpin Anggi Sri Wilujeng dengan kebaya dan kacamata hitam, disusul rombongan SST yang dikomandani Saeful Badar. Lalu disambung Studio Wulanari, Teater Jagat, Teater Alif, Teater Nuansa, Teater Luhur, Teater Hepweti, Teater Korsi, Teater Delapan, Sanggar Tari Matahati, sejumlah seniman tradisional dan peserta utusan sekolah. Di sudut Jl. Ir. Juanda sudah menunggu Jaro X. Yus dan kawan-kawan. Mereka melakukan performance art, melumuri tubuhnya dengan tepung dan berguling-guling sepanjang jalan.

Karnaval bergerak sepanjang Jl. Ir. Juanda, berbelok ke Jl. Tunjungsari, masuk ke Jl. Sudirman dan berakhir di Taman Raflesia, alun-alun Ciamis. Inti dari karnaval adalah berbagi kreatifitas dan kegembiraan dengan masyarakat. Baik peserta maupun masyarakat yang menonton sama-sama bergembira, sama-sama bersemangat dan terlibat. Karnaval seperti ini menjadi sangat penting mengingat kecenderungan partai-partai untuk melakukan arak-arakan pun cukup tinggi. Hanya saja arak-arakan yang belakangan ini bukan lagi menunjukkan kreatifitas dan berbagi kegembiraan dengan masyarakat, melainkan unjuk kekuatan serta menebarkan rasa takut.

Yang dilakukan seniman-seniman Ciamis dan juga Tasikmalaya dengan menggelar acara-acara kolosal seperti ini adalah untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat. Di tengah situasi serba sumpek oleh berbagai persoalan politik, sosial dan ekonomi sebenarnya masyarakat juga punya hak untuk bergembira dan sejenak melupakan keruwetan yang diciptakan para politisi. “Kegiatan seperti ini sangat penting agar para seniman maupun masyarakat tidak terjebak pada situasi yang seperti kloset macet, muter di situ-situ juga,” ujar Godi Suwarna mengomentari hangatnya sambutan masyarakat pada karnaval ini. “Saya jauh-jauh datang ke sini karena ingin bergembira bersama-sama,” timpal penyair Deden Abdul Aziz yang sengaja datang dari Bandung.

Sekira pukul 19.30 para penonton sudah berkerumun sekitar panggung yang berdekatan dengan air mancur taman. Tanpa banyak basa-basi, Nur Z.M. yang berkostum hitam-hitam ala Baduy langsung membuka acara. Genjring ronyok pimpinan Pa Daday dari Kawali mengawali pementasan dengan tembang-tembang shalawatan. Tembang-tembang ini menjadi terasa “aheng” karena diiringi dengan genjring (rebana berukuran besar) yang pukulannya sangat khas. Para pemainnya yang puluhan orang terdiri dari ibu-ibu dan bapak-bapak yang sebagian sudah tua nampak sangat bersemangat. Acara disambung dengan pentas tari “Samping Kebat” dari Studio Wulanari pimpinan Neng Peking, yang secara simbolis melukiskan perjalanan hidup seorang manusia mulai dari kelahiran sampai kematian. Karya tari ini diangkat dari sebuah puisi karya Godi Suwarna dengan judul sama. Neng Peking sendiri tampil sebagai penari utama dengan dibantu beberapa muridnya. Pentas tari disambung oleh Neng Ima yang membawakan tari topeng.

Acara terus berlanjut dengan tampilnya kelompok kacapi suling Dadak Sakali pimpinan Pa Yaya dan Bu Encin yang membawakan tembang-tembang Cianjuran. Setelah itu sejumlah puisi Sunda dibacakan Godi Suwarna dengan gaya yang nekad meski sebenarnya kondisi Pangeran Surili dari Galuh ini sedang cedera kaki. Selain membacakan puisi-puisi lamanya, Godi juga membawakan beberapa puisi barunya. Sebagai puncak acara tampil Ronggeng Gunung dengan sindennya yang terkenal, Nyi Raspi.

Berbeda dengan ronggeng-ronggeng dari daerah pesisir yang bersifat klangenan, ronggeng dari Ciulu ini mangandung unsur kontemplasi. Konon ronggeng yang berasal dari pegunungan ini menggambarkan kegundahan seorang puteri Galuh yang mencari para perampok (bajo) yang telah membunuh suaminya. Sang puteri terus menembang dan para perampok itu menari-nari. Yang menarik dalam ronggeng ini semua penarinya lelaki, berkostum hitam-hitam, membawa golok dan mengerubuni kepalanya dengan kain sarung. Mereka menari mengeliling api dengan gerakan-gerakan yang teratur. Setiap tembang menggambarkan adegan tertentu, mulai dari gerakan biasa sampai adegan berkelahi. Pada tembang tertentu Nyi Raspi mengundang penonton untuk ikut menari, tentu saja bagi yang sudah paham gerakan-gerakannya.

Pukul 23.00 penonton masih berjubel, sebagian ikut menari dan sebagian lagi menyoraki yang gerakan tariannya salah. Semuanya bergembira, panitia gembira, seniman gembira, penonton gembira. Nyi Raspi tersenyum puas sambil menggoda Nur Z.M., pembawa acara kepala empat yang masih bujangan. Lalu gerimis tiba-tiba turun, dan pentas Ronggeng Gunung pun terpaksa diakhiri. “Kalau tidak hujan Ronggeng Gunung ini sulit untuk dihentikan, bisa semalam suntuk. Jadi sengaja hujan kami biarkan turun karena malam sudah larut,” kata pembawa acara yang juga paranormal ini sambil tertawa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI