Ronggeng Gunung dalam Upacara Seren Taun


Kehadiran seni ronggeng gunung di masyarakat memang bukan hal baru. Namun, pesatnya kemajuan zaman dan globalisasi mengakibatkan arus tradisi budaya mendapatkan ruang gerak yang kurang luas di masyarakat. Ini pula yang menyebabkan kemunculan ronggeng gunung mulai jarang ditemukan, kecuali dalam tradisi dan upacara tertentu. Sebut saja, dalam hajat sunat (khitanan), perkawinan, sampai Upacara Seren Taun.

Begitu mendengar kata Ronggeng, yang kita tahu adalah sebuah tarian yang selalu identik dengan hubungan antara penari ronggeng dan laki-laki. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa ronggeng merupakan tari tradisional dengan penari utama wanita, dilengkapi dengan selendang yang dikalungkan di leher sebagai kelengkapan menari. Selendang yang berfungsi sebagai kelengkapan menari juga memiliki kegunaan lain yaitu untuk menggaet penonton laki-laki untuk turut menari bersama penari ronggeng. Oleh karena itu, kemampuan penari ronggeng dalam memikat penonton laki-laki selalu berakhir dengan suatu tindakan bersifat pornografi. Hal tersebut diungkapkan pula oleh Raffles dalam bukunya History of Java yaitu pada zaman dulu ronggeng dapat dijumpai diseluruh tanah Jawa, dan menurut pengamatannya pada saat itu para penari ronggeng memiliki perilaku yang kurang terhormat, sehingga istilah ronggeng selalu disosialisasikan dengan pelacur.

Ronggeng Gunung sendiri merupakan sebuah kesenian tradisional yang berasal dari Ciamis Selatan, khususnya di daerah Panyutran, Burujul, Cijulang, Ciparakan, dan Pangandaran. Tidak ubahnya dengan ronggeng secara umum, kesenian tradisional ronggeng gunung merupakan sebuah kesenian berbentuk kombinasi antara tarian yang diiringi gamelan dan kawih pengiring. Umumnya penarinya adalah seorang atau lebih perempuan cantik.

Ternyata bukan hanya ronggeng saja yang mendapatkan citra buruk di masyarakat. Ronggeng Gunung pun sempat mengalami pergeseran nilai sekitar tahun 1904-1945, yang mengakibatkan kesenian ini diidentikkan dengan suatu tarian yang keluar dari koridor moral dan adat. Namun, kesenian Ronggeng Gunung pun pada akhirnya mengalami pembaharuan dalam hal gerakan serta nilai-nilai budaya yang dikandungnya sejak tahun 1950-an. Alhasil, kesenian ini mulai dapat dinikmati kembali oleh masyarakat tanpa takut berakhir dengan sesuatu yang bersifat negatif.

Ronggeng Gunung biasanya disajikan pada malam hari hingga menjelang subuh. Diiringi nyanyian merdu sinden (juru kawih) dan tabuhan kendang, ketuk, dan gong, sang penari memulai tariannya dengan teratur menggunakan tiga tahapan pakaian khusus. Sebelum Ronggeng Gunung memulai pentas biasanya dilakukan beberapa ritual, seperti diadakan sesajen untuk persembahan kepada para leluhur dan roh-roh yang ada di sekitar tempat digelarnya tarian, agar pertunjukan berjalan dengan lancar. Bentuk sesajennya terdiri atas kue-kue kering tujuh macam dan tujuh warna, sebuah cermin, sisir, pisang emas, dan rokok sebagai pelengkap sesaji.

Kemunculan Ronggeng Gunung bukan tanpa alasan. Hal inilah yang mengawali munculnya berbagai versi cerita mengenai asal-usul tarian tersebut. Diceritakan dalam salah satu versi bahwa kehadiran Ronggeng Gunung tidak lepas dari hadirnya Dewi Samboja. Pasalnya hal ini dikaitkan dengan perkawinan antara Dewi Samboja dan Raden Anggalarang, putra Prabu Haur Kuning dari Kerajaan Galuh, yang tidak direstui. Oleh karena itu, mereka mendirikan kerajaan di Pananjung. Pada suatu hari kerajaan tersebut diserang oleh para perompak yang dipimpin oleh Kalasamudra, sehingga terjadi pertempuran. Namun karena pertempuran tidak seimbang, akhirnya Raden Anggalarang gugur. Dewi Samboja yang berhasil menyelamatkan diri kemudian mengembara dan dalam pengembaraannya yang penuh dengan penderitaan, ia berganti nama menjadi Dewi Rengganis dan menyamar sebagai ronggeng. Di tengah kepedihan hatinya, Dewi Rengganis berkelana dari satu tempat ke tempat lainnya. Hingga sampailah ronggeng ini di tempat Kalasamudra. Akhirnya melalui ronggeng, Dewi Samboja dapat membalas kematian suaminya dengan membunuh Kalasamudra ketika sedang menari bersama. Kepedihan itu diungkapkan dalam lagu yang berjudul “Manangis”. Berikut ini adalah syairnya.

Ka mana boboko suling
Teu kadeuleu-deuleu deui
Ka mana kabogoh kuring
Teu Kadeulu datang deui

Ternyata kisah mengenai Dewi Samboja yang berganti nama menjadi Dewi Rengganis ini, dikaitkan juga dengan mitologi Dewi Sri Pohaci. Dewi Sri Pohaci atau dikenal dengan sebutan Nyai Sri ini merupakan dewi padi yang memberikan kesuburan dan pemberi berkah bagi manusia, khususnya dalam hal bertani. Sebagaimana diungkapkan dalam sebuah jangjawokan berbahasa Jawa, pantun Sunda Sulanjana atau Jaka Sadana (di Jawa analog dengan Jakapuring, penjaga padi), juga salah satu naskah kuno mengenai sawah yang ditulis Haji Moehamad Moesa (1822-1886) yang kemudian dicetak ulang oleh pemerintah kolonial hindia belanda pada tahun 1864 dengan judul “Handleiding Voor De Kultur Van Padi”. Hal inilah yang menjadi dasar hadirnya Ronggeng Gunung dalam Upacara Seren Taun.

Upacara Seren Taun merupakan sebuah upacara guna mensyukuri atas hasil pertanian yang melimpah yang diadakan di Desa Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Berbagai kesenian yang membawa simbol rasa syukur terhadap hasil pertanian dipertunjukkan dalam acara yang biasa digelar sejak tanggal 18 Rayagung. Sebut saja Tarawangsa dari Sumedang, Tarawangsa dari Indramayu, gending karesmen Lalayang Salaka Domas, Ngareremokeun dari Baduy, sampai kesenian Ronggeng Gunung.

Ronggeng Gunung biasanya digelar pada 19 Rayagung. Tepatnya tiga hari sebelum acara puncak dari Seren Taun diadakan, yakni pada 22 Rayagung. Acara puncak tersebut ditandai dengan pergelaran Angklung Buncis, Angklung Baduy, hingga Ngalayak, yaitu penyerahan padi oleh masyarakat untuk ditumbuk bersama-sama. Perayaan akhir dari Seren Taun yaitu menumbuk padi dengan alu pada lesung-lesung yang telah dipersiapkan secara bersama-sama pula.

Simbol-simbol estetika tidak sedikit hadir memaknai Seren Taun ini. Seperti, upacaranya yang jatuh pada 22 Rayagung yaitu memiliki makna refleksi dari 20 unsur anatomi manusia yang membentuk Jirim, Jisim, dan pengakuan diri sebagai manusia. Sedangkan angka 2 sebagai pelengkap angka 22 mengacu pada makna unsur yang berpasangan dalam kehidupan manusia, atau disebut juga estetika pola dua.

Kehadiran Ronggeng Gunung pun memiliki simbol estetika tersendiri, yakni perlambangan dari Dewi Samboja yang secara mitologi kehadirannya sama dengan Dewi Sri Pohaci (Dewi Padi). Hal ini juga tercermin dari serangkaian pergelaran Ronggeng Gunung yang merupakan ekspresi kehidupan manusia yang menggambarkan kehidupan manusia itu sendiri, dengan mengembangkan nilai spiritual, etis, dan estetis pada diri manusia.

Simbol terakhir yang dikandung Ronggeng Gunung, yakni simbol dari rekreasi rakyat, atau bersifat hiburan. Hal yang sama ini juga dimiliki oleh berbagai kesenian lain dalam Upacara Seren Taun. Sehingga dari sekian banyak simbol, Seren Taun tidak bisa lepas dari fungsi lainnya sebagai sarana hiburan masyarakat secara umum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI