Mengecup Sajak, Mencium Kematian

Oleh Evi Sefiani

Jika Beni R. Budiman berujar, “Maka hidup, ada untuk mati”, Pramoedya Ananta Toer berkata, “Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir ke dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang. Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah kemana...” (Bukan Pasarmalam). Kematian menjadi sebuah rahasia yang datang dengan pasti namun tak ada seorang pun mengetahui kapan waktu kematian itu tiba. Menciptakan kegelisahan dalam diri manusia itu sendiri. Namun, kematian bukan akhir segalanya dalam perjalanan, pencarian, dan pengembaraan seorang penyair.

Senin pagi (23/11/09), sekitar pukul 4 dini hari, dunia kesusatraan Indonesia kembali berduka dengan berpulangnya seorang sastrawan yang sajaknya telah melanglangbuana di Nusantara, ialah Moh. Wan Anwar. Kematian penyair yang menulis sajak sejak 1990 dikabarkan akibat sakit ginjal yang telah lama bersarang di tubuhnya. Sampai menginjak usia 39 tahun, telah banyak karya sastra lahir dari tangannya. Tak sedikit sajaknya dimuat dalam berbagai surat kabar serta antologi. “Sebelum Senja Selesai” merupakan antologi sajak tunggalnya yang diterbitkan tahun 2002.

Moh. Wan Anwar berpulang ke rumah Tuhan dengan meninggalkan jejak yang takkan terhapus oleh waktu, ialah sajak. Melalui sajak, banyak peristiwa hadir dan menciptakan rumahnya sendiri—yang kapan pun dapat kita kunjungi dan ziarahi. Rumah yang kadang kita rindukan dan ingin kita masuki justru setelah pemiliknya tiada. Lagi-lagi kematian dan ketiadaan menjadi rahasia paling dalam yang sulit terkuak, bahkan oleh diri penyair itu sendiri. Namun, suasana batin kematianlah yang justru begitu mudah ditangkap oleh penyair, termasuk oleh Moh. Wan Anwar. Seolah menjadi sebuah kegelisahan tentang datangnya kematian, beberapa sajak lahir di tangan penyair liris yang berbakat dengan membawa aroma pekat mengenai tanda akan datangnya sebuah ketiaadaan.

Kegelisahan, kesakitan, dan berbagai perasaan yang berkecamuk mengenai prosesi kematian tergambar dalam beberapa sajak Moh. Wan Anwar. Sebuah sajak berjudul “Di Rumah Sakit”: apa yang kita harapkan dari tubuh/ yang lemah ini? Selain terus merangkaki/ rencana-rencana yang telah terjadwal rapi/ dan kita hanyut dalam sungai keringat/ lalu terjaga sewaktu telaga hati mulai kering// ya, apa yang mesti kita perbuat dalam jaga/ yang sekejap ini? Ah, kita masih punya doa/ sewaktu sakit melambai penuh rahasia//, cukup untuk menggambarkan rasa sakit dan kegelisahan seorang penyair menghadapi atau berpikir tentang kematian. Seolah kematian menjadi hal yang menyakitkan juga memberi ketentraman tersendiri dalam batin penyair. Kematian yang sebenarnya akan datang dan telah terjadwal dengan rapi oleh Tuhan. Kita hanya perlu berbuat yang terbaik, sebelum kematian itu datang.

Doddy Ahmad Fauji dalam sebuah obituarium berjudul “Kepergian Sang Pionir” (Khazanah, Pikiran-Rakyat, 29/11/09) berkata, “Ia sering memadamkan lampu neon menjelang dini hari, dan menggantinya dengan lilin. Ia menghisap kretek ditemani kopi pahit, lalu menarikan jemarinya pada tuts mesin ketik di keheningan dini hari.” serta, “Malam-malam, kami sering ngawawaas suasana…menangkap ilham...” Keadaan yang diciptakan dan dilakukan oleh Moh. Wan Anwar bukan saja telah melahirkan sajak-sajak liris, juga menciptakan hubungan transendensi yang kuat antara penyair dengan Tuhannya, juga penyair dengan sisi kebatinan dalam dirinya. Peristiwa itulah yang salah satunya mendasari tertangkapnya dan terciumnya isyarat kematian oleh batin penyair, seperti terasa dalam sajaknya berjudul “Melukis Ketentraman”: bacalah sajak-sajakku/ yang ditulis dengan basmalah, yang pada setiap/ kata-katanya memancar roh pendakian dan pengasingan/ ke bukit dan gua tempat orang-orang mendengkur/ berabad-abad. Aku menggigil ketika bersiap/ melintasi lorong dingin tempat orang-orang membekukan hari-harinya/.

Sajak di atas juga menggambarkan bahwa penyair adalah seorang pencari dan pengembara—bukan saja dalam hal kata-kata, melainkan makna hidup, cinta, dan kematian itu sendiri. Jakob Sumardjo dalam bukunya “Estetika Paradoks” (2006:17) mengatakan bahwa orang Indonesia pun tidak berminat terhadap fisafat itu sendiri, melainkan hanya fisafat yang mengajarkan sesuatu mengenai hubungan pribadinya dengan Tuhan. Yang dicarinya bukan pengetahuan teoritis, melainkan pengetahuan yang ada artinya bagi praktik kehidupan, entah untuk memperoleh kekayaan atau kekuasaan di dunia sini, entah—terutama yang ini—untuk dapat memahami dirinya sendiri, yaitu memperoleh informasi mengenai kebenaran tentang hidup, dan kematian, tentang cara mencari dan menemukan Tuhan. Barangkali, nilai fisafat mengenai pencarian akan makna hidup, kematian, dan Tuhan-lah yang hendak pula disampaikan Moh. Wan Anwar dalam sajak tersebut, yang juga terasa dalam sajaknya berjudul “Bertamu di Kamar Sunyi”: sedang air mata telah jadi sungai perih/ di sajadah yang melapuk…bagaimana aku menggapaimu/ dan Cahaya padaku menjelma?//.

Sajak Moh. Wan Anwar berjudul “Ziarah”: //kita tengah merangkai kata-kata/ untuk tulisan di batu nisan. Selebihnya sunyi/ dan bila janji itu tiba, matahari akan padam/ dalam diri kita. Seperti daun-daun gugur/ tinggal menunggu seseorang menyapunya/ dalam tanah, kita fana dan abadi//, menjadi sebuah penjelasan yang tegas mengenai akhir dari sebuah pencarian dan pengembaraan manusia—dalam hal ini penyair. Isyarat kematian yang ditangkap dan dicium penyair dalam sajaknya seperti doa dan tanda bahwa kematian begitu dekat dan akan datang dalam waktu yang entah kapan. Dan kini, akibat sakit ginjal yang dideritanya, Moh. Wan Anwar benar-benar menuliskan kabar kematiannya sendiri.

Mengingat sajak dengan sejuta isyarat kematian, maka kita juga akan menziarahi sajak seorang penyair asal Majalengka yang meninggal di usia 37 tahun pada 2002 silam, bernama Beni R. Budiman. Beliau banyak menulis sajak yang bersentuhan dengan kematian, rasa sakit, dan kesepian. Selain tersebar di media massa, sajaknya termuat dalam antologi pertama dan terakhirnya berjudul “Penunggu Makam”.

Seperti halnya Moh. Wan Anwar, Beni R. Budiman meninggal akibat sakit ginjal, jantung, dan paru-paru yang dideritanya. Rasa sakit memang terkadang memberikan kegelisahan tersendiri dalam diri penyair, hingga akhirnya hubungan transendensi dengan Tuhan dikaitkan kematian terasa begitu kental. Sajak berjudul “Lagu Pohon Pala”: /dari bukit batu yang terjal/ menyiratkan betapa berat ini tubuh/ Langkahku lamban seperti tutut/ Napas patah-patah naik turun/ Dada seakan dipukul godam beruntun//, begitu jelas menggambarkan rasa sakit yang dialami penyair. Betapapun ringkihnya kondisi tubuh, ia tetap harus berjalan, hingga, /kupasrahkan dakian demi dakian tajam/ menikam jantungku yang melepuh//.

Pada akhirnya garis-garis kematian terasa, /hingga maut begitu dekat dan bersahabat/ (Lagu Pohon Pala). Kesakitan dan kecemasan yang berkali-kali dirasakan penyair seolah tak hanya berhenti pada kepasrahan akan rasa sakit itu sendiri. Semangat untuk tetap bertahan menjadi obat dikala tubuh tengah rapuh. Maka, /kematian yang menawan dan menyenangkan!/ (Di Pelabuhan Cirebon) menjadi sebuah harapan dan keoptimisan dalam batin pengarang. Maskipun, /kematian berkibar pada tiang/ (Camping), sajak berjudul “Thespian”: /kematian bukan akhir cerita, katamu/ Tapi awal dari lakon drama baru. Harapan abadi/ yang ragu. Panggung yang menunggu dan ditunggu/ kematian, cinta niscaya yang meminta dan memaksa//, seolah benar-benar menjadi harapan ketika kematian mencium kita pada waktunya.

Bila rasa sakit itu dirasakan sebagai isyarat kematian oleh Moh. Wan Anwar dan Beni R. Budiman, maka Kripur yang lahir di Solo, 6 Agustus 1959, berpulang menemui keabadian di rumah Tuhan akibat kecelakaan lalu lintas pada 17 Februari 1987. Kematian yang sebagian besar menjadi tema utama pada sajaknyalah yang menjadi isyarat kematian dengan mudah tercium oleh Kriapur.

Afrizal Malna dalam pengantar antologi sajak Kriapur berjudul “Tiang Hitam Belukar Malam” berkata, “Sebagian besar menghubungkan kematian ia dengan begitu banyaknya tema-tema kematian yang ditulis Kriapur dalam sajak-sajaknya.” Sajaknya berjudul “Pelayaran Tiada”: //mimpi-mimpi yang kabur, tanah telah menangkapnya/ berupa bayang-bayang burung yang hitam/ kuhembuskan jalan laut-laut, di selatan pohonan musim gugur/ sampai pada hatiku yang tiada//, dengan jelas menangkap isyarat kematian yang begitu kelam seolah, /kematian melukis-lukis bayangan timur/ yang membuka senja dan kuburan// (Dinding).

Kematian seperti sesosok mahluk yang kapan pun bisa memburu dan melumpuhkan kita, seperti dalam sajak berjudul “Kalah”: /di sepanjang zaman membunuhku/ memburu sukmaku/ menjilat darahku/ lalu kutancapkan mayat dan kenanganku di udara/. Sajak merupakan bagian dari jejaknya—juga jejak para penyair yang telah tiada. Maka, sebelum ketiadaan itu datang dengan caranya, harapan dalam batin terbentuk. Hal itu terbaca dalam sajak berjudul “Kupahat Mayatku di Air”: /kupahat mayatku di air/ namaku mengalir/ pada batu dasar kali kuberi wajahku…namaku sampai di pantai/ ombak membawa namaku/ laut menyimpan namaku/ semua ada di air//.

Aroma kematian dalam sajak terkadang begitu menakutkan sehingga menciptakan mitos seputar penyairnya. Namun, aroma tersebut bukan menjadi ramalan bahwa penyairnya akan mati muda. Afrizal Malna—masih dalam pengantarnya—mengatakan mistifikasi seperti ini, juga seperti yang dilakukan terhadap Chairil Anwar yang mati muda, saya pikir sering terasa berlebihan, menutup kemungkinan melakukan pengkodean lain dalam membaca puisi-puisinya. Ya, barangkali pembacaan kematian hanyalah isyarat mengenai adanya hubungan transendensi yang kuat antara penyair dengan Tuhan—juga mengandung nilai filsafat—serta hubungannya dengan kecemasan serta kegelisahan yang timbul dalam diri penyairnya seperti terungkap dalam sajak Moh. Wan Anwar, Beni R. Budiman, serta Kriapur.

Sekali lagi kematian adalah rahasia. Penyair hanya mampu menangkap isyarat dalam bahasa kata-kata. Sekalipun kematian itu telah datang, sajak-sajak mereka adalah jejak yang selalu terpahat di air—dan dimanapun—yang dapat kita ziarahi dengan doa serta taburan bunga. Moh. Wan Anwar menyebutkan:

aku kenang lagi air mata berjatuhan

dari hatimu. Pada buku-buku terbadai di lantai

di ruang sempit, maut menggeliat dari sukmaku

(“Depok, Suatu Sore”)

***

Komentar

Penulis mengatakan…
Izin Share ya Admin... *^_^*

Sebuah Musikalisasi Puisi Sederhana:
Tubagus Rangga Efarasti

Hari Berangkat Dewasa
Karya: Moh. Wan Anwar

lihatlah hari berangkat dewasa
matahari mengajari kita agar tak berdusta
membagikan kasih sayangnya kepada setiap cinta
lihatlah jiwa kita yang terengah-engah
mendaki seluruh perjalanan. Menatap pada
kehidupan yang buram dan menyakitkan

“Peristiwa-peristiwa siang ini bukanlah
mimpi!” seru seseorang di pinggir jalan

tapi perjalanan ini penuh dengan borok
dan luka. Kulit tubuh kian melepuh
dan kita menjadi kelu bila bicara
kota menjadi pucat. Gedung-gedung membisu
kita membutuhkan bara untuk membakar
tubuh-tubuh yang terlanjur terbaring kaku

Bandung, 1993

Puisi ini terhimpun dalam kumpulan puisi pilihan 2001-1991 "Sebelum Senja Selesai" karya Moh. Wan Anwar. Musikalisasi puisi ini aku persembahkan khususnya teruntuk Alm.Moh. Wan Anwar (Penyair Banten) yang lahir di Cianjur tahun 1970 dan wafat 23 Nopember 2009. Semoga Almarhum berada dalam kasih sayang Allah SWT dan karya-karyanya menjadi amal ibadah serta menginspirasi sepanjang masa. Amin...

Untuk rekan-rekan di Rumah Dunia, khususnya Guru Besar TRE (Mas Gol A Gong, Mbak Tias Tatanka dan Mas Toto ST Radik). Untuk Tamta, Tamtor yang ada di Tamasya Musafir Kata. Untuk komunitas Hip Hop seluruh Indonesia, khususnya Guru Besar TRE (8Ball dan KnEight se-Indonesia). Serta untuk rekan-rekan penulis di mana pun berada, para insan pembelajar yang luar biasa. Semoga musikalisasi puisi ini dapat dinikmati, bermanfaat dan menginspirasi. Amin...

Untuk menikmati MP3 (3.24 MB) musikalisasi puisi ini bisa rekan-rekan download pada link di bawah ini:
http://www.mediafire.com/download.php?97fq80512iajh3m

*) Salam SGB dan tengat berkarya
Tamasya Musafir Kata

Bagi rekan-rekan Blogger yang berminat untuk bergabung di Tamasya Musafir Kata, silakan klik link Fanspage Tammasya Musafir Kata (http://www.facebook.com/tamasyamusafirkata) dan Grup Facebook Tamasya Musafir Kata (http://www.facebook.com/groups/tamanapresiator.tmk/). Mari kita berbagi kebaikan dan kedamaian bersama... *^_^*

***
Evi Sefiani mengatakan…
terima kasih atas informasinya. semoga alm. Wan Anwar dan karyanya akan selalu terkenang. semoga senja itu membatasi ingatan kita pada seorang pionir seperti Alm. Wan Anwar. salam.

Postingan populer dari blog ini

“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI