“Sangkuriang”:Suatu Kekhawatiran Budaya Kini

Tentu kita masih ingat pada cerita rakyat Jawa Barat mengenai seorang pemuda tampan bernama Sangkuriang. Rasanya tidak asing lagi cerita ini didengar oleh masyarakat kita, warga Bandung khususnya. Pasalnya, cerita ini banyak dihubungkan dengan asal usul terjadinya Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Bukit Tunggul, Gunung Burangrang, dan Talaga Bandung. Tidak hanya itu saja, Sangkuriang pun dikaitkan dengan beberapa penemuan fosil dan perkakas prasejarah di beberapa daerah di Jawa Barat. Sebut saja fosil anggota badan manusia yang ditemukan di Goa Citatah, Padalarang, ataupun perkakas berburu binatang yang ditemukan di daerah Talaga Bandung.
Meskipun banyak versi dihubungkan dengan cerita rakyat ini, Sangkuriang sendiri pada awalnya adalah sosok seorang pemuda mencintai ibu kandungnya, yaitu Dayang Sumbi. Diceritakan bahwa Sangkuriang mempunyai ayah dari bangsa* binatang (:anjing) yang bernama si Tumang. Pada suatu hari Dayang Sumbi yang lahir dari ibu sebangsa babi hutan (Celeng Wayungyang) dan ayah seorang raja, menghukum dan mengusir Sangkuriang karena telah membunuh ayahnya sendiri. Hingga saat Sangkuriang beranjak dewasa, ia kembali bertemu dengan Dayang Sumbi bahkan berniat menikahinya. Namun, pernikahan itu tidak terjadi meskipun cinta bersemi di hati keduanya. Dayang Sumbi terlanjur tahu bahwa Sangkuriang ternyata anak kandungnya sendiri. Di akhir cerita setelah Sangkuriang gagal menikahi ibunya, ia kecewa hingga melakukan berbagai hal yang tidak masuk akal.
Adapun versi-versi lain mengenai folklor yang satu ini. Seperti salah satu versi yang satu ini, yaitu diceritakan bahwa Sangkuriang adalah sesosok lelaki Sunda yang dinamis, pemberani, banyak akal dan tidak mudah putus asa. Lain halnya dengan Dayang Sumbi, ia merupakan perempuan Sunda yang memegang kukuh adat istiadat dan tradisi leluhur. Ataupun versi lain yang menyebutkan bahwa sasakala Sangkuriang hanyalah menunjukkan potret falsafah hidup kesundaan.
Sebenarnya yang menjadi sorotan dalam folklor di atas dengan berbagai versinya yaitu terletak pada kandungan budayanya. Rasanya bukan menjadi hal yang riskan bila kita menyebutkan bahwa budaya dapat membagun suatu bangsa seperti halnya bahasa ataupun sosial, politik dan ekonomi.
Berdasarkan cerita rakyat Sangkuriang, kita dapat menemukan beberapa unsur budaya. Sebut saja mengenai hubungan antara manusia dengan roh, jin, ataupun hal yang gaib. Keterlibatan hal yang bersifat gaib bukan hanya terjadi pada zaman dulu, khususnya zaman prasejarah. Di mana manusia memiliki kepercayaan tertentu terhadap adanya mahluk supranatural dengan kekuatan dan kekuasaan. Dahulu disebut animisme dan dinamisme. Kepercayaan ini dianggap sebagai suatu adat istiadat atau tradisi, dikarenakan manusia zaman dulu masih berpikir dari apa yang mereka rasa, lihat, dan dengar.
Budaya mengenai kepercayaan terhadap hal yang gaib tidak hanya terjadi pada zaman dulu, melainkan juga masa kini. Sistem turun temurun sebuah tradisi menyebabkan budaya ini tidak lantas luntur dalam kehidupan masyarakat, seperti halnya suatu budaya primitif. Namun terdapat kontradiktif mengenai sistem budaya ini. Di zaman yang sudah serba canggih dan pola pikir manusia yang semakin berkembang, kepercayaan berlebih terhadap hal gaib seharusnya mulai luntur dalam kehidupan masyarakat. Penyebabnya karena dewasa ini perkembangan kehidupan mulai bertumpu pada hal yang dianggap nyata dan kuatnya keyakinan terhadap agama.
Pergolakan budaya dalam legenda ini tidak berhenti pada permasalahan alam gaib. Beradu harapan antara Sangkuriang dan Dayang Sumbi ibarat beradu harapan antara konvensi (tradisi) dengan inovasi (modernisasi) dalam konsep kebudayaan, seperti yang disebutkan oleh Edi S. Ekadjati (2006 :14).
Keinginan Sangkuriang meminang ibunya sendiri menjadi suatu hal yang biasa terjadi kini. Padahal kejadian tersebut merupakan hal yang dilarang dan dianggap tabu sejak zaman dulu. Seperti disebutkan dalam naskah Sanghyang Siksa Kanda Ng Karesian yang disusun tahun 1518 M , yaitu “Nihan sinangguh dasa prebakti ngaranya. Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru,...”, maksudnya kita harus menghormati yang lebih tua seperti anak menghormati kedua orang tuanya sendiri. Hal itu tidak tercermin dalam legenda Sangkuriang.
Dewasa ini berbagai kejadian seputar tingkah anak yang tidak berbakti dan tidak menghormati orang tuanya marak terjadi. Bahkan lebih mengiris, tindakan senonoh yang terjadi pada keduanya sempat menjadi headline news di tanah air. Padahal secara agama dan adat ketimuran, seharusnya mencintai atau memiliki hubungan dengan saudara sedarah bahkan orang tua tidak diperkenankan.
Menyinggung permasalahan di atas, dalam sejarah budaya seks nusantara menyebutkan bahwa budaya seks sudah dikenal sejak abad 8. Relief Karmawibangga pada bagian bawah Candi Borobudur terpahat para pandita agung yang menggambarkan posisi ideal bercinta ala kamasutra. Hingga akhirnya ditutup oleh kolonial Belanda, karena tidak sesuai norma. Dalam hal ini, norma tetap menempati tugasnya untuk mencegah hal yang tidak baik. Sehingga, walaupun budaya seks menyebar di Nusantara, tetap saja ada larangan-larangan menyangkut hal tersebut pada sesuatu yang sudah melewati batas dan kaidah ketimuran kita. Sama halnya dengan hubungan yang terjadi antara anak dan ibu.
Lepas dari pembahasan mengenai masalah perasaan cinta, Dayang Sumbi mempunyai alasan kuat mengapa ia tega menghukum dan mengusir Sangkuriang. Si Tumang telah dibunuh oleh anaknya sendiri, yaitu Sangkuriang. Bagi Dayang Sumbi, membunuh menjadi satu perbuatan buruk yang sangat dilarang. Apalagi pembunuhan anak terhadap ayahnya sendiri.
Sebenarnya membunuh secara sengaja atau tidak sengaja merupakan sebuah perbuatan yang tidak baik karena telah menyebabkan hilangnya nyawa. Tradisi membunuh sudah ada sejak zaman para nabi, tepatnya ketika banyak terjadi peperangan. Perkara mengenai larangan membunuh telah diatur oleh hukum, adat, norma, bahkan agama. Seperti tercantum dalam Piagam Madinah pasal 14 dan pasal 21 yang isinya tentang larangan pembunuhan. Membunuh orang lain saja sudah dilarang, apalagi membunuh orang tua atau saudara sedarah. Fenomena seperti yang terjadi pada Sangkuriang terhadap si Tumang, juga mulai marak terjadi dewasa ini. Meskipun pada dasarnya tindakan ini tidak disengaja, membunuh tetap perbuatan melanggar hukum.
Berbagai fenomena dan prespektif budaya dari potret dan kisah Sangkuriang yang terjadi pula pada masa kini, seharusnya menjadi sebuah kekhawatiran zaman dan masyarakat. Bukan tidak mungkin juga, kisah ini menjadi sebuah peringatan generasi tentang beberapa pola kejadian dalam kehidupan, baik yang salah maupun benar.
Bahkan versi yang menyebutkan tentang hubungan Sangkuriang dengan falsafah kesundaan(:yaitu tentang gamabaran pola cara manusia atau masyarakat sunda berkehidupan), dapat pula dijadikan gambaran mengenai berhubungan atau berkomunikasi dalam kehidupan sebagai manusia yang berbudaya.

*bangsa (bahasa Sunda) : jenis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI