Rumah: Lahir dan Tumbuh (Membangun Peradaban dari dalam Rumah)




Rumah

Seperti apakah rumah? Bagaimana bentuk dan isi rumah?
Rumah dalam KBBI diartikan sebagai tempat tinggal. Bagi saya rumah lebih dari tempat saya hidup dan menjalani kegiatan sehari-hari. Saat ini, rumah menjadi tempat segalanya. Mulai dari istirahat, beribadah, memasak, mengerjakan tugas domestik, mengurus dan membesarkan anak, belajar, melayani suami, bahkan lebih dari itu semua. Rumah menjelma kamar hotel, restaurant, taman bermain, istana, laundry, cafe, perpustakaan, masjid, dan tentunya madrasah bagi saya, suami, dan anak.
“Rumah adalah taman dan gerbang peradaban yang mengantarkan anggota keluarganya menuju peran peradabannya.” (Institut Ibu Profesional)
Di dalam rumah, kami lahir dalam peran yang Allah amanahkan. Saya terlahir sebagai seorang perempuan, isteri dari Reza Saeful Rachman, dan ibu dari Ghaisan Aqeela Rachman (rahimahullah) serta Ghazea Raina Aqeela Rachman. Masing-masing dari kami memiliki peran yang luar biasa.
Beberapa tahun lalu saya masih menjalankan peran di sektor publik dan domestik secara bersamaan. Kini, Alhamdulillah, ujian demi ujian dalam rumah tangga membuat saya memahami dan menjalankan peran sesungguhnya di dalam rumah.  Suami saya seorang dosen PTS yang juga mengemban amanah sebagai Direktur Kemahasiswaan di kampus tersebut. Ia juga menempuh studi doktoral di PTN di Bandung. Amanah tersebut membuat waktunya cukup tersita. Namun, bagi saya dan anak, ia tetap mampu menjadi suami sekaligus ayah yang baik di sisa waktunya. Kami tetap tak kehilangan kebersamaan. Anak kami yang pertama menutup usia saat sedang aktif dan lucu-lucunya. Allah menitipkannya pada kami hanya sampai sebelum menginjak 6 bulan di dunia. Anak kami yang kedua kini berusia 20 bulan. Ia tumbuh menjadi putri yang aktif dan ceria.
Lahir dalam perannya masing-masing, rumah juga menjadi tempat kami tumbuh dan berkembang. Waktu demi waktu, hidup di dalam rumah membuat kita menyadari, mengerti, dan belajar untuk menjadi pribadi yang bijak. Suka atau duka, kini kami belajar menikmatinya dengan kebahagiaan dalam setiap peran tersebut. Kami belajar menumbuhkan kebahagiaan mulai dari dalam diri sendiri agar kebahagiaan itu tertular ke luar diri kita, yakni ke seluruh isi rumah bahkan ke luar rumah. Inside dan outside seperti yang diungkapkan Pak Dodik Mariyanto, “Bersungguh-sungguhlah kamu di dalam, maka kamu akan keluar dengan kesungguhan itu, tidak ada hukum terbalik.”
Untuk bersungguh-sungguh dalam menjalani peran hidup demi meraih kebahagiaan, bukan hal yang mudah dan tanpa tantangan. Dari dari kita sebagai manusia selama hidupnya akan diberi ujian atau cobaan sesuai batas kemampuannya oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu pun setiap rumah tangga.
Ada rumah tangga yang diuji dengan pasangan yang kurang baik, mertua atau orang tua yang tidak sepemahaman, lingkungan rumah yang tidak sesuai, perangai anak, belum dikaruniai anak, peselingkungan atau orang ketiga, finansial, pekerjaan, atau bahkan masalah dalam hal perannya masing-masing. Yakinlah bahwa setiap masalah tersebut dapat dilewati dan menjadi proses pendewasaan setiap anggota rumah tangga.
Seperti rumah tangga lain pada umumnya, hidup berkeluarga dalam rumah kami pun menghadapi banyak ujiannya. Ujian kami terdasar adalah kurangnya kualitas diri dan pemahaman terhadap peran hidup.
Pada materi dan NHW (Nice Homework) ke-3 di kelas Matrikulasi Batch 7 ini, Teh Esa Puspita selaku fasilitator membekali ilmu “Membangun Peradaban dari dalam Rumah”. Untuk meninggakatkan kualitas diri dan membangun peradaban  tentu berawal dari diri sendiri  dan rumah sendiri. Saya diajak berkontemplasi dan mengenali makna kehadiran diri dan peran hidup di dunia ini sebagai khalifah, isteri, dan ibu. Tentang tujuan mengapa Allah menciptakan kita dan menghadirkan kita tengah orang-orang dan lingkungan sekeliling kita. Tentang memahami peran spesifik keluarga di muka bumi ini. Tentang menggali lagi visi dan misi kehidupan.
Pastinya materi tersebut membutuhkan perenungan yang cukup dalam. Begitu pula dengan NHW yang ditugaskan. Materi dan NHW ke-3 kali ini dibuat dan ditujukan bagi 3 kelompok peserta, yakni peserta yang single (Pra Nikah), peserta yang sudah menikah, dan peserta single parent.

Materi di atas membuat jantung saya berdegup kencang dan tetiba saja hati saya begitu melankolis. Misi pernikahan hal yang awalnya abstrak bagi saya. Hanya dipikirkan sesekali dan rumah tangga dijalani begitu saja sesuai alur yang Allah gariskan pada kami. Kali ini saya sekaligus suami diajak untuk menghikmati kembali tentang misi pernikahan dan bagaimana bentuk, isi, dan warna cat rumah kami yang sesungguhnya.
Namun, sebelum lebih jauh membahas mengenai misi pernikahan, saya rasa ada yang harus saya renungkan dari materi pranikah.

Semacam inner child. Positif maupun negatif, inner child secara sadar atau tidak akan mempengaruhi diri kita serta tindakan kita di masa sekarang dan yang akan datang. Serupa “Self healing”, saya memulai membuka kenangan demi kenangan masa lalu saya. Menyusunnya seperti puzzle. Menentukan bagian mana yang positif dan bagian mana yang negatif. Menggambarkan perasaan saya dalam setiap bagian itu. Mencoba berdamai dengan ikhlas memaafkan dan berusaha tak mengungkitnya kembali. Semua itu saya save dalam sebuah folder dalam ruang terdalam di diri saya agar ia tak muncul tanpa saya membuka. Jadi, saya hanya jangan membukanya kecuali untuk mengambil hal baik dan mempelajarinya. Jika saya iseng membukanya, mungkin bukan hanya memori yang terkuak tapi virus-virus turut berkembang ke ruang pikiran bawah sadar saya. Untuk inner child ini nanti akan saya tulis di artikel berbeda.
Kembali ke NHW ke-3 di kelas matrikulasi. Berikut rincian NHW ke-3.


Surat Cinta untuk Suami

Surat. Menulis surat cinta bagi suami sebetulnya bukan hal yang baru dan jarang saya lakukan. Suami saya pernah berkata, “Menulis merupakan salah satu self healing dan begitu pula menulis puisi.” Sejak mengenalnya di tahun 2007 lalu saat sama-sama masuk ke Universitas Pendidikan Indonesia di jurusan dan kelas yang sama juga, saya belajar mencintai menulis, khususnya menulis puisi. Entah sudah berapa banyak saya dan suami saling bertukar puisi sejak itu. Puisi semacam surat dari curahan hati kami. Dan sejak 2008 silam kami menjalin kasih, sejak itu pula saya terbiasa mengirimi surat padanya. Surat tentang apapun. Melalui surat, saya bisa mengungkapkan penuh bagaimana kondisi perasaan saya kala itu. Apa yang saya harapkan dan apa yang ingin saya lakukan. Semua lebih mudah saya komunikasikan melalui surat.
Pasalnya, saat mengungkapkan langsung perasaan, segala bentuk emosi, ego, mimik muka, atau diksi bisa cenderung sulit terkontrol. Alhasil bukan kesepakatan atau jalan keluar yang didapat, melainkan perdebatan. Pada akhirnya, menulis surat juga bagian dari self healing.
Surat cinta kali ini sungguh berbeda. Bukan hanya merupakan NHW, melainkan lebih dari perenungan diri tentang rasa cinta, bahagia, kekecewaan, atau apapun dalam pernikahan. Ungkapan rasa yang selama ini luput untuk diutarakan  pada suami terkasih. Surat tersebut ditulis dalam file terpisah.
Inti dari surat itu berisi perjalanan kisah kasih kami selama lebih dari satu dasawarsa. Tak sedikit ujian kami lewati bahkan di usia hampir satu lustrum usia pernikahan. Usia tersebut masih muda, namun ujian yang kami jalani cukup untuk membuat kami banyak belajar tentang hidup dan makna pernikahan. Sampailah pada saat awal bulan Februari ini kami menempuh perjalanan ke Yogyakarta. Di sana kami menghikmati hidup dan kebersamaan. Kami hanya ingin terus bersama dan bahagia apapun ujian yang kelak datang dalam pernikahan kami. Kami hanya harus siap dan melewatinya bersama. Aamiin Allahumma Aamiin.

Perjalanan Tubuh
:Reza Saeful Rachman

Masih ingatkah kau?
Aroma kabut menyeruak dari dinginnya air wudhu
Bibirmu memanggilku seperti azan subuh—menghentikan
perjalanan kita sejenak.

Kuraba bentuk wajahmu yang masih sama seperti dasawarsa lalu.
Hanya garis-garis matamu lelah sebab banyak cahaya silau dan ruang gelap
silih berganti membuat pupil itu kembang kempis serupa kenangan
dan waktu melajukan mimpi-mimpi ke arah asing—entah sampai atau tidak.

Jidatmu mulai lebar
ubanmu kian lebat.
Tak perlu lagi banyak berpikir untuk hari ini saja, sayang.
Cukup duduklah di sampingku, lajukan lagi roda mobil menuju tempat jauh.
Lupakan sejenak berapa tikungan atau tanjakan telah dilewati
lupakan berapa jam berlalu
seperti orang-orang mengayuh sepeda dari Ambal hingga Brosot
hingga sulur-sulur matahari terpantul di antara sadel dengan aspal.
Mereka mengayuh tanpa menghitung berapa banyak urat juga
keriput menggaris di kakinya.

Pada aliran irigasi yang memanjang di tubuh Daendels
aku menemukan kata-kata mengambang di arus air
dimainkan udara dingin yang menyekap tubuh kita untuk berpelukan
mereka menjelma sajak—mengalir ke muara Bantul paling rahasia—

tertulis di atas kilauan pasir.
Ombak melarungkan segala kegelisahan dan lagu sumbang.
Tawa kita menyelinap di mimpi kanak-kanak.
Kita bangun lagi istana kecil dan seorang anak telah tumbuh di dalam sana
menjadi laut paling biru.

Kuhikmati perjalanan panjang ini, sayang
tubuhmu adalah labuhan paling kuat—kusebut surga

Bandung-Yogyakarta 2019

Surat cinta saya tulis pada hari Kamis, 14 Februari 2019. Suami membacanya sebelum ia tidur. Responnya, ia tersenyum dan hanya berkata, “ I love you”. Ia lalu mencium dan memeluk saya dan Zea. Sudah. Ya, tak lama ia meminta dipijiti dan tertidur pulas. Ia tampak lelah karena hari itu ia pergi kuliah sejak langit masih gelap dan kabut dingin masih menyelimuti rumah lalu pulang larut malam saat jam menunjukkan pukul 22.30 usai mengajar kelas karyawan.
Esoknya, hujan masih mengguyur sejak subuh. Suami tetap mandi dan bersiap kuliah. Sebelum pergi, ia menggendong Zea dan bercanda sesekali di garasi rumah. Dalam perjalanannya pagi itu, ia mengirimi pesan berisi kata-kata sayang dengan emoticon kiss. Dalam hati saya, “Alhamdulillah”.
Hati manusia lebih dalam dari palung laut terdalam di bumi ini. Di dalamnya, segala rasa, pertanyaan, dan pemahaman menggenang. Hanya Allah saja yang mengetahui seperti apa rupa di sana. Maka, kita hanya mampu khusnuzon dan menjalani semua dengan keihklasan. Ikhlas untuk bahagia.
Setelah peristiwa surat kemarin, suami saya sempat berkata, “Mari kita jalan-jalan dan bahagia!”. Jadi, saya hanya berharap akan ada benih kebahagiaan tumbuh di dalam diri kami masing-masing. Dengan rasa tersebut, kita akan belajar memahami peran hidup, saling mengerti, saling menjaga, saling bertahan, saling menguatkan, saling setia, dan saling…
Aku adalah konsonan yang hampa tanpa vokal. Tak akan bermakna apa-apa tanpa kehadiran ayah. Bukan saling melengkapi. Tapi saling memberi arti. Kata-kata kelak akan lahir menjadi sajak paling puitis dalam rumah kita.”
Begitu penutup surat saya pada suami. Semoga kita tak pernah berhenti belajar mengejar surga yang sesungguhnya. Masing-masing dari kami adalah istimewa dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Kami ditakdirkan berjodoh untuk menjalani ibadah rumah tangga bersama bukan tanpa alasan. Saya sudah menjadi pilihan terbaik yang Allah beri kepada suami. Pun sebaliknya. Suami dengan paket dalam dirinya adalah rejeki sekaligus amanah yang memberi arti dalam hidup saya. Dalam perjalanan panjang ini, kita hanya harus belajar jatuh cinta berulang kali pada orang yang sama, bahkan di saat jatuh, lelah, bosan, jenuh, dan marah.

Wajah Anak

Dalam usia pernikahan yang hampir menginjak satu lustrum. Alhamdulillah, puji syukur saya diamanahi tiga kehamilan. Hal yang patut disyukuri mengingat banyak perempuan di luar sana mendambakan sebuah kehamilan. Saya menikah dan pertama kali berhubungan suami istri saat menginjak masa subuh sehingga Alhamdulillah, siklus haid setelah menikah tidak saya jumpai.
Dengan kata lain, saya langsung diamanahi kehamilan. Rasanya saat itu kaget dan mungkin belum siap secara mental dan finansial. Namun, puji syukur kehamilan anak pertama dapat saya lewati dengan ringan meski penuh tantangan mengingat saat awal kehamilan saya masih bekerja menggunakan sepeda motor dari Ujungberung ke daerah Cimahi, seperti Batujajar atau Padalarang. Setelah berhasil mutasi ke wilayah Bandung Timur, saya melewati kehamilan dengan naik turun lantai 3 dan promosi naik motor ke sekolah-sekolah hingga saatnya melahirkan sambil terus menyicil dan menabung materi untuk anak.
Saya melahirkan anak pertama secara normal dibantu bidan. Hal yang sangat disyukuri, meski setelah melahirkan saya hampir menderita baby blues sindrom. Pasalnya, saya mengalami kesulitan meng-ASI-hi. Payudara saya sedikit ASI dan beradarah dengan nganga luka yang menyakitkan. Sakit pasca melahirkan semakin nyeri dengan banyak omongan dan pendapat negatif  dari orang sekeliling termasuk orang tua saya kala itu. Padahal, saya terus berjuang ditemani suami membesarkan anak berdua di rumah. Saya terus berjuang meng-ASI-hi dan membesarkan anak yang pertama sambil membagi waktu dengan bekerja sebagai pengajar hingga di usia hampir 6 bulan, aa Ghaisan berpulang kepada pemilik abadinya, Allah Ta’ala.
Tak perlu saya deskripsikan bagaimana perihnya perasaan kehilangan itu kami rasakan. Kini, kami belajar mengikhlaskan dan membagi kenangan indah pada adiknya.
Kehamilan kedua terjadi setelah sekitar 9 bulan kami berikhtiar dan saya melakukan terapi suli hormon. Qadarullah, saya kembali merasakan kehilangan karena janin yang saya kandung tidak berkembang dan detak jantung yang sebelumnya kami dengar menghilang. Di usia 12 minggu kehamilan, saya merasakan terbaring di kasur operasi dan menjalani kuretase. Kami belajar ikhlas dan sabar untuk kesekian kali hingga Allah kembali mengamanahi kehamilan ketiga. Bukan tanpa ujian. Awal kehamilan, saya didiagnosa abortus imminens dan hampir blighted ovum. Kuasa Allah begitu luar biasa hingga akhirnya setelah melewati pembukaan 5 dan induksi, Ghazea lahir dengan proses Sectio Caesarea.
Pasca melahirkan kondisi fisik dan mental saya lebih siap dari sebelumnya. Meski sama-sama harus berjuang meng-ASI-hi dengan kondisi payudara yang berdarah-darah  melebihi sebelumnya. Saya lebih bersemangat.

Ghaisan Aqeela Rachman (Rahimahullah)

Ghaisan, adalah anak laki-laki yang luar biasa. Ia lahir tanggal 24 Desember 2014. Banyak orang mengira ia adalah anak perempuan. Barangkali karena wajahnya lembut dan murah senyum setiap kali ada yang menyapanya. Ia termasuk anak yang mudah diasuh oleh siapa pun.
Sejak usia 3 bulan, saya mulai bekerja kembali sehingga Ghaisan menghabiskan waktu di siang hari bersama ayah atau  neneknya. Sedih memang menginggalkannya, tapi saya tetap berusaha membersamainya kala itu. Pergi pagi setelah selesai meng-ASI-hi dan memandikannya. Setiap istirahat siang, saya selalu menyempatkan pulang untuk kembali meng-ASI-hi. Ketika pulang saya dan Ghaisan begitu bahagia. Biasanya kami bermain, bercanda, dan bonding. Kala itu, ia sedang senang menjelajah banyak mainan, seperti mainan yang mengeluarkan bunyi. Ia senang memainkan ludah dan mulai cerewet seperti bundanya.
Banyak yang bilang bahwa Ghaisan anak yang ramah dan riang. Meski begitu, setiap saya bersin, Ghaisan selalu menangis. Saya malah jadi terharu kalau dia nangis begitu. Ia anak yang tidak rewel dan lebih anteng. Bermain di babybouncher, duduk di car seat atau stroller, main mana pun, Ghaisan selalu asik sendiri. Namun, kalau bertemu orang lain, ia tetap antusias.
Tak banyak yang bisa saya ceritakan tentangnya. Yang pasti, ia termasuk anak yang kuat. Ia hampir jarang sakit seperti adiknya. Sekalinya sakit, Allah mengajaknya berpulang pada 15 Juni 2015 di RS. Hermina Arcamik saat dhuha. Allah menyanginya amat sangat. Kelak, saya berharap ia akan menjemput orangtua dan adik-adiknya ke surga Allah. Aamiin Allahumma Aamiin.

Ghazea Raina Aqeela Rachman

Anak yang ceria dan aktif luar biasa. Begitulah Ghazea atau biasa disapa Zea. Ia lahir pada 16 Juni 2017 di hari ke 21 bulan Ramadhan. Ia diberi nama Ghazea Raina Aqeela Rahman. Alasan pertama, karena artinya, “prajurit perempuan yang dan adik yang pintar dan pengasih”. Kedua, karena kami tak ingin dia melupakan kakaknya dan secara tidak langsung kalau dalam bahasa Sunda ‘Raina’ berarti ‘adiknya’.
Nama Ghazea semacam doa agar ia kelak menjadi anak yang kuat dan tangguh layaknya prajurit perempuan di zaman nabi. Ternyata, kata Ustadzah Frida, guru mengaji kami, kararter Zea sesuai arti namanya. Ia anak yang sulit diam. Senang meng-explore segala hal, mulai dari mainan, lingkungan, binatang, atau apapun di sekelilingnya. Apalagi kalau ada hal baru, ia begitu excited.
Ia mampu menggunakan akal dan pikirannya dengan cerdas saat melakukan aktivitas, misalnya saat akan menjangkau benda yang tinggi maka ia akan mencari benda lain yang bisa ia jadikan pijakan. Saat ia pernah merasakan terjatuh, terluka, maka ia akan mencari cara lain agar hal itu tidak terulang seperti cara turun dari kasur, kursi, atau tempat lain. Ia senang membongkar mainan seperti mobil-mobilan, boneka plastik, atau mainan lego yang sudah disusun. Ia akan membaginya menjadi bagian-bagian kecil dan ia sangat teliti.
Zea sangat senang main ‘anyang-anyangan’ semisal masak-masakan. Mainan atau benda apapun yang ada disekelilingnya dapat ia jadikan mainan, sebut saja, pensil, buku, jam, kotak, dus, botol, wadah-wadahan, atau apapun. Alhasil, saya tidak perlu sering-sering membelikannya mainan karena ia mampu berimajinasi dengan banyak benda di sekelilingnya. Ia sangat mudah merasa penasaran.
Main air, begitu hal yang paling menyenangkan baginya. Dalam suasana hati senang, sedih, ngantuk, kesal, atau tantrum, bermain air mampu membuatnya riang. Mengamati hujan atau gerimis yang turun. Mengamati mesin cuci yang berputar. Melihat kolam ikan di rumah kakek neneknya. Hal tersebut membuatnya riang.
Sehari-hari Zea lebih sering menghabiskan waktu berdua dengan bundanya dan jarang bertemu dengan orang lain. Namun, hal itu tak membuatnya menjadi anak pendiam atau penakut saat bersosialisasi. Justru, saat ia bertemu dengan anak-anak lain (di masjid, di taman, di mall, atau di mana pun), ia begitu riang dan aktif. Meski, tak jarang ia malah membuat anak lain menangis karena makanan atau mainannya ia rebut. Saya perlahan mengajarkannya berbagi, tapi karena ia anak kecil satu-satunya di rumah sepertinya egonya masih sangat tinggi.
Saat ini Zea sedang belajar melafalakan kata-kata, menyanyi, berdoa, mengaji, berhitung, makan, dan mengenal tubuhnya. Di usia golden age, masih banyak stimulasi yang harus diberikan. Memorinya masih sangat besar lebih dari 1 tera. Masih banyak hal positif yang harus saya ajarkan. Ia sering bertanya, “Apa ini?”, “Apa itu?”, “Kenapa?”, “Siapa?”, dan lain-lain. Kami sebagai orang tua perlu memberikan jawaban dengan tepat dan bijak agar apa yang kami arahkan tidak membuatnya salah mengerti.
Potensi dalam diri Zea sangat banyak, salah satunya kemampuan bersosialisasi dan menganalisis. Secara umum, ia termasuk anak yang kinenstetik. Bergerak membuatnya belajar banyak hal. Hanya saja, hal itu kerap membuatnya menjadi anak yang mudah bosan. Kita sebagai orang tua harus pintar-pintar mengajarkan hal-hal baru dan mengasah hal lama yang ia pelajari. Kita juga harus lebih berhati-hati dalam mengajarkan dan melakukan apapun di hadapannya karena Zea adalah peniru yang cepat. Semoga kelak semua potensi dalam dirinya dapat dikembangkan dan dibimbing ke arah yang baik sesuai sunnah rasul.
Tak banyak yang saya inginkan darinya, selain ia mampu beradaptasi dengan lingkungan dan hidup menjalankan hidup sesuai Al-Quran dan sunnah. Jika ia memiliki pondasi agama yang baik, kemandirian, prestasi, atau apapun yang ia tekuni akan berjalan beriringan.
Tentang pendidikan, rumah tetap harus menjadi madrasah pertamanya. Ayah bundanya adalah guru dan teladan pertamanya. Perihal pendidikan formal, kami tentu ingin memberikannya yang terbaik sesuai kebutuhannya dan karakternya kelak.

Potensi Diri

Lebih dekat dengan diri sendiri adalah maksud dari bagian dalam NHW ini. Kadang saya merasa sudah mengenal diri sendiri. Pada kenyataannya? Belum. Masih banyak hal yang membingungkan dari diri saya sehingga masih perlu diasah dan mencari jati diri sebenarnya.
Saya merasa menyukai banyak hal. Menulis puisi, memasak, berkerajinan tangan, menjahit, dan banyak hal lainnya. Saya suka ilmu sastra, budaya, bahasa, psikologi, agama, alam, sosial, kesehatan, dan banyak ilmu lainnya. Lalu apa fokus saya?
Menjalani kehidupan di dalam rumah dengan segudang aktivitas, membuat saya harus (mau tidak mau, bisa atau tidak, suka tidak suka) mampu melakukan banyak hal. Saya harus mampu menjadi juru masak, tukang laundry, tukang kebun, penjahit, dokter, perawat, guru, satpam, guru mengaji, ahli keuangan, nanny, tukang pijat, artis, badut, psikolog, dan banyak keahlian lain bagi anak dan suami.
Semua hal tersebut menjadi menarik bagi saya untuk dipelajari agar menjadi ahli yang dibutuhkan di dalam rumah. Harus serba bisa dari urusan besar sampai urusan kecil seperti ganti gas dan galon air minum.
Sejak kecil, saya terbiasa melakukan banyak hal sendiri. Pernah tinggal dan dibesarkan oleh kakek nenek pekerja keras. Dari mereka, saya pertama kali menyukai memasak, meski awalnya hanya membuat comro dan wajit. Sedangkan orang tua saya termasuk orang yang cukup otoriter untuk masalah pilihan dan saya orang yang keukeuh dengan pendirian sendiri. Saya sering belajar memasak pada asisten rumah tangga di rumah waktu kecil atau melihat mamah memasak. Saya senang belajar menjahit karena melihat bapak dalam aktivitas di konveksinya. Saya senang menulis karena merasa tak memiliki tempat curhat paling rahasia dan melegakan selain buku dan pulpen. Untuk beberapa hal yang masih belajar memahami keinginan orang tua dan mengikutinya bila baik, tapi untuk masa depan saya memilih untuk yakin pada pendirian saya. Buruk tidak buruk, cukup bertanya dan minta dipilihkan yang terbaik oleh Allah. Semisal, masalah pilihan teman hidup dan pendidikan.
Orang tua saya sangat menginginkan anaknya menggeluti bidang bisnis atau ekonomi, sedangkan saya bukan orang yang suka berhitung. Saya tetap menghormati keinginan mereka dengan memasukan jurusan Ekonomi Pembangunan dalam salah satu  pilihan saat SPMB selain Bahasa dan Sastra Indonesia yang saya inginkan saat itu. Saya juga lolos seleksi jurusan Akutansi di PTS. Namun, Allah begitu sayang pada saya dan lebih tau yang terbaik buat saya. Alhamdulillah saya lolos SPMB Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI 2007 lalu dan lulus di tahun 2011 dengan predikat Cum Laude sebagai mahasiswa berprestasi tingkat Fakultas dan mahasiswa lulusan terbaik tingkat Universitas kala itu . Bukan hal yang cukup membahagiakan bagi orang tua saya mungkin. Mereka lebih bangga melihat adik saya lolos masuk jurusan Manajemen di PTS karena bersangkut paut dengan urusan bisnis dan ekonomi (barangkali) dibandingkan menyaksikan saya menulis puisi atau berpidato saat wisuda di hadapan semua civitas akademik. Wallahu’alam .
Yang pasti, saya mencintai bidang saya dalam bahasa dan sastra. Saya menyukai menulis puisi. Puisi sebagai self healing juga bagi saya. Puisi sudah banyak mengajarkan saya tentang kehidupan dan makna di dalamnya. Puisi pernah juga membawa saya menjelajah banyak tempat saat Temu Sastra MPU di Surabaya, Pertemuan Penyair Nusantara di Jambi, atau puisi saya yang mampir ke daerah lain di Indonesia, seperti Aceh, Tasikmalaya, atau lainnya.
Sebetulnya bukan hanya menulis puisi, menulis esai atau menulis apapun seperti curhatan juga saya suka. Hanya saja, saat ini mengurus aktivitas di sektor domestik sebagai pelayan terbaik baik suami dan anak cukup menyita waktu dan energi. Kemampuan manajemen waktu dan diri yang amat buruk membuat saya sulit memiliki waktu me-time untuk menulis, bahkan meski untuk menulis satu puisi saja. Terakhir kali berkarya saat mengisi prosiding Seminar Tahunan Linguistik Internasional UPI tahun lalu. Itu pun atas semangat, dukungan, dan bantuan Ibu Sri Wiyanti, dosen pembimbing saya. Yang disayangkan saya tidak bisa tampil menjadi pembicara di acara tersebut karena pemulihan pasca dirawat di rumah sakit.
Jadi, passion dalam menulis saya cukup besar. Apalagi berkat NHW di kelas matrikulasi IIP ini, saya dibangkitkan lagi untuk menulis dan menjadi semacam paksaan yang menyenangkan. Menulis seperti juga passion memasak.
Hal itu membuat saya pernah membuka layanan katering harian bernama Raidailykitchen yang menyediakan makan siang dengan menu variatif dan pemesanan masakan seperti Nasi Tumpeng atau Ikan Mas Pindang. Usaha tersebut saya rintis sejak tahun lalu dan kini mulai vakum seiring keaktifan si kecil yang mulai harus selalu saya bersamai. Saya mengelolanya sendiri karena di rumah memang hanya kami bertiga. Suami yang sibuk, hanya mampu membatu di waktu weekend sehingga saya putuskan untuk sementara hanya menerima pesanan masakan saja.
Dari semua hal dan aktivitas, pada intinya saya senang belajar. Belajar apapun selama waktu, situasi, kondisi, keuangan, dan lingkungan mendukung. Saya senang mengikuti seminar parenting, kesehatan, atau kajian Islam karena kebutuhan saya. Kekurangannya, saya sudah mulai kesulitan mencatat setiap ilmu yang saya pelajari. Hanya mengandalkan ingatan dan memori pikiran yang makin lemah dan kecil. Anak yang aktif ke sanasini saat saya ajak ke acara adalah alasannya. Saya belum pandai mengatur diri dan belajar mengendalikan di kecil yang sedang asik menjelajah itu.
Untunglah, saya memiliki suami yang juga memiliki passion hampir sama dengan saya sehingga kami bisa saling mendukung, mengingatkan, menyemangati, dan membantu. Tentu, kehadiran suami bagi saya sudah anugerah dan orang yang tepat untuk memahami segala kekurangan saya. Anak pun demikian. Ia membuat saya melatih kualitas diri. Utamanya dalam mengelola emosi dan mengasah kemampuan mengajar saya. Meski sudah tidak lagi berprofesi sebagai pengajar bagi siswa SD dan tidak lagi membuka kelas privat dan calistung di rumah, saya tetap bisa menjadi guru seumur hidup bagi anak saya.
Yang pasti, kelak setelah mengikuti pembelajaran di IIP, saya bisa kembali aktif mengembangkan potensi dalam diri saya untuk kebermanfaatan di dalam rumah dan untuk masyarakat sekitar. Bukan potensi besar barangkali di tengah banyaknya kekurangan dalam diri saya, hanya saja hal kecil sekalipun bila saya bagikan akan terasa lebih berarti.
Kadang, banyak aktivitas yang hal yang menarik dalam hidup saya membuat saya kurang memiliki kecintaan terhadap yang saya lakukan. Mungkin hanya sebagian hanya sebatas kewajiban. Saya berharap bisa menanamkan kebahagiaan pada diri sendiri agar kebahagiaan itu terlutar ke luar diri.


Seperti ilustrasi di atas, saya harus mampu memahami, mengembangkan, dan menanamkan kebahagiaan dari dalam diri sendiri. Membangun aktivitas dan hal positif di dalam rumah sehingga berpengaruh pada lingkungan masyarakat. Hal itu yang kelak akan melahirkan sebuah peradaban yang berkualitas. Kebayang kan jika kualitas diri dan rumah buruk ditambah lingkungan yang tidak mendukung, akan seperti apa peradaban yang lahir kelak?

Lingkunganku

Sejak kecil saya besar di daerah Cibeureum Cimahi di lingkungan yang ramai dan padat sehingga besinggungan dengan setiap manusia dari berbagai latar belakang. Sangat berbeda dengan lingkungan saat ini. Kini saya tinggal di daerah Bandung Timur bersama suami dan berdekatan dengan tempat tinggal mertua. Lingkungan di sini tidak sepadat dan seramai di Cimahi. Masyarakat di sini lebih individualis dan lebih sering berkomunikasi lewat WA Grup atau sesekali berjumpa saat arisan atau berkumpul. Aktivitas dan pekerjaan masing-masing yang sibuk membuat sosialisasi sedikit berbeda.
Saya hanya bersosialisasi sesekali. Saya lebih rutin bertemu dengan ibu-ibu muda di kajian Islam di masjid komplek belakang. Saya bersosialisasi hanya dengan beberapa tetangga dekat. Apalagi saya juga tidak mengikuti arisan karena alasan keyakinan sehingga semakin jarang bertegur sapa.
Masyarakat di lingkungan ini berasal dari latar belakang yang beragam, mulai dari perawat, dokter, apoteker, tentara, koki, guru, PNS, dan lainnya. Sebetulnya banyak hal yang bisa digali dan dikembangkan. Kurangnya motivasi, inisiatif, dan wadah dari diri kami masing-masing menjadi kekurangan dan hambatan yang terdasar, termasuk dari diri saya.
Hal itu membuat saya lebih belajar di luar lingkungan tetangga rumah. Mengikuti kajian rutin setiap Selasa di masjid belakang, membuat saya belajar lebih dalam tentang agama dan hidup. Saya kembali diingatkan masalah ibadah dan utamanya sedekah. Di sana, setiap Jumat ada kegiatan Jumat berkah yang diisi dengan membagikan nasi box pada masyarakat sekitar yang membutuhkan atau juga diisi dengan warung sedekah, cek kesehatan, dan perpusatakaan keliling.
Sehari-hari saya lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Di hari libur kami bermain ke rumah mertua dan membantu berjualan ikan mas. Di sana, kami lebih merasakan bersosialialisasi dengan banyak pembeli dari banyak latar belakang hidup.
Sejujurnya, saya masih perlu memahami alasan saya dan keluarga di hadirkan di lingkungan saat ini. Pemahaman hidup dan keyakinan  kami pada agama dan sunnah pun mungkin berbeda-beda. Ini menjadi tentangan besar. Kami dituntut lebih pandai berkomunikasi dan menciptakan wadah komunikasi bagi anak-anak hingga orang tua.  Mungkin kami dihadirkan sebagai sosok muda yang mencoba membuat warga di lingkungan ini lebih terintegrasi. Suami pernah bercerita bagaimana dia membuat suasana rapat lebih hidup dengan banyak menyisipkan humor karena suasana yang begitu dingin. Selain itu suami juga pernah bercita-cita (sebagai pengembangan dari rumah belajar  yang pernah saya buat) adalah membuat taman bacaan masyarakat atau rumah belajar masyarakat yang mungkin awalnya mengajak anak-anak di lingkungan ini untuk terintegrasi untuk kemudian menjadi sarana untuk para ibu belajar mengenai hal-hal baru dan kemudian dijadikan sebagai wadah bagi para ayah untuk turut bergabung pula. Saya dan suami berharap tempat ini akan menjadi wadah untuk pemberdayaan masyarakat yang berawal dari lingkungan ini saja untuk kemudian berkembang ke wilayah yang lebih luas. Sehingga tak hanya rumah , tapi lingkungan saya pun muncul sebagai lingkungan pemberdaya dan pembangun peradaban masyarakat.
Di waktu mendatang, semoga semua tantangan ini bisa dihadapi seiring peningkatan kualitas diri dan rumah kami sendiri. PR terbesar adalah membenahi diri sendiri dan keluarga agar kami keluar dengan penularan kualitas yang baik pula.

Bandung, Februari 2019

*sumber dari materi ke-4 "Membangun Peradaban dari dalam Rumah" kelas Matrikulasi Institut Ibu Profesional



Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI