Rumah: Lahir dan Tumbuh (Membangun Peradaban dari dalam Rumah)
Rumah
Seperti
apakah rumah? Bagaimana bentuk dan isi rumah?
Rumah dalam
KBBI diartikan sebagai tempat tinggal. Bagi saya rumah lebih dari tempat saya
hidup dan menjalani kegiatan sehari-hari. Saat ini, rumah menjadi tempat
segalanya. Mulai dari istirahat, beribadah, memasak, mengerjakan tugas
domestik, mengurus dan membesarkan anak, belajar, melayani suami, bahkan lebih
dari itu semua. Rumah menjelma kamar hotel, restaurant, taman bermain, istana,
laundry, cafe, perpustakaan, masjid, dan tentunya madrasah bagi saya, suami,
dan anak.
“Rumah adalah taman dan gerbang peradaban yang mengantarkan anggota
keluarganya menuju peran peradabannya.” (Institut Ibu Profesional)
Di dalam
rumah, kami lahir dalam peran yang Allah amanahkan. Saya terlahir sebagai
seorang perempuan, isteri dari Reza Saeful Rachman, dan ibu dari Ghaisan Aqeela
Rachman (rahimahullah) serta Ghazea Raina Aqeela Rachman. Masing-masing dari
kami memiliki peran yang luar biasa.
Beberapa
tahun lalu saya masih menjalankan peran di sektor publik dan domestik secara
bersamaan. Kini, Alhamdulillah, ujian demi ujian dalam rumah tangga membuat
saya memahami dan menjalankan peran sesungguhnya di dalam rumah. Suami saya seorang dosen PTS yang juga
mengemban amanah sebagai Direktur Kemahasiswaan di kampus tersebut. Ia juga
menempuh studi doktoral di PTN di Bandung. Amanah tersebut membuat waktunya
cukup tersita. Namun, bagi saya dan anak, ia tetap mampu menjadi suami sekaligus
ayah yang baik di sisa waktunya. Kami tetap tak kehilangan kebersamaan. Anak
kami yang pertama menutup usia saat sedang aktif dan lucu-lucunya. Allah
menitipkannya pada kami hanya sampai sebelum menginjak 6 bulan di dunia. Anak
kami yang kedua kini berusia 20 bulan. Ia tumbuh menjadi putri yang aktif dan
ceria.
Lahir dalam
perannya masing-masing, rumah juga menjadi tempat kami tumbuh dan berkembang.
Waktu demi waktu, hidup di dalam rumah membuat kita menyadari, mengerti, dan
belajar untuk menjadi pribadi yang bijak. Suka atau duka, kini kami belajar
menikmatinya dengan kebahagiaan dalam setiap peran tersebut. Kami belajar
menumbuhkan kebahagiaan mulai dari dalam diri sendiri agar kebahagiaan itu
tertular ke luar diri kita, yakni ke seluruh isi rumah bahkan ke luar rumah. Inside dan outside seperti yang diungkapkan Pak Dodik Mariyanto,
“Bersungguh-sungguhlah kamu di dalam, maka kamu akan keluar dengan kesungguhan
itu, tidak ada hukum terbalik.”
Untuk
bersungguh-sungguh dalam menjalani peran hidup demi meraih kebahagiaan, bukan
hal yang mudah dan tanpa tantangan. Dari dari kita sebagai manusia selama
hidupnya akan diberi ujian atau cobaan sesuai batas kemampuannya oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu pun setiap rumah tangga.
Ada rumah
tangga yang diuji dengan pasangan yang kurang baik, mertua atau orang tua yang
tidak sepemahaman, lingkungan rumah yang tidak sesuai, perangai anak, belum
dikaruniai anak, peselingkungan atau orang ketiga, finansial, pekerjaan, atau
bahkan masalah dalam hal perannya masing-masing. Yakinlah bahwa setiap masalah
tersebut dapat dilewati dan menjadi proses pendewasaan setiap anggota rumah
tangga.
Seperti
rumah tangga lain pada umumnya, hidup berkeluarga dalam rumah kami pun
menghadapi banyak ujiannya. Ujian kami terdasar adalah kurangnya kualitas diri
dan pemahaman terhadap peran hidup.
Pada materi
dan NHW (Nice Homework) ke-3 di kelas Matrikulasi Batch 7 ini, Teh Esa Puspita
selaku fasilitator membekali ilmu “Membangun Peradaban dari dalam Rumah”. Untuk
meninggakatkan kualitas diri dan membangun peradaban tentu berawal dari diri sendiri dan rumah sendiri. Saya diajak berkontemplasi
dan mengenali makna kehadiran diri dan peran hidup di dunia ini sebagai
khalifah, isteri, dan ibu. Tentang tujuan mengapa Allah menciptakan kita dan
menghadirkan kita tengah orang-orang dan lingkungan sekeliling kita. Tentang
memahami peran spesifik keluarga di muka bumi ini. Tentang menggali lagi visi
dan misi kehidupan.
Pastinya
materi tersebut membutuhkan perenungan yang cukup dalam. Begitu pula dengan NHW
yang ditugaskan. Materi dan NHW ke-3 kali ini dibuat dan ditujukan bagi 3
kelompok peserta, yakni peserta yang single (Pra Nikah), peserta yang sudah
menikah, dan peserta single parent.
Materi
di atas membuat jantung saya berdegup kencang dan tetiba saja hati saya begitu
melankolis. Misi pernikahan hal yang awalnya abstrak bagi saya. Hanya
dipikirkan sesekali dan rumah tangga dijalani begitu saja sesuai alur yang Allah
gariskan pada kami. Kali ini saya sekaligus suami diajak untuk menghikmati
kembali tentang misi pernikahan dan bagaimana bentuk, isi, dan warna cat rumah
kami yang sesungguhnya.
Namun,
sebelum lebih jauh membahas mengenai misi pernikahan, saya rasa ada yang harus
saya renungkan dari materi pranikah.
Semacam
inner child. Positif maupun negatif, inner child secara sadar atau tidak akan
mempengaruhi diri kita serta tindakan kita di masa sekarang dan yang akan
datang. Serupa “Self healing”, saya
memulai membuka kenangan demi kenangan masa lalu saya. Menyusunnya seperti
puzzle. Menentukan bagian mana yang positif dan bagian mana yang negatif. Menggambarkan
perasaan saya dalam setiap bagian itu. Mencoba berdamai dengan ikhlas memaafkan
dan berusaha tak mengungkitnya kembali. Semua itu saya save dalam sebuah folder
dalam ruang terdalam di diri saya agar ia tak muncul tanpa saya membuka. Jadi,
saya hanya jangan membukanya kecuali untuk mengambil hal baik dan
mempelajarinya. Jika saya iseng membukanya, mungkin bukan hanya memori yang
terkuak tapi virus-virus turut berkembang ke ruang pikiran bawah sadar saya.
Untuk inner child ini nanti akan saya tulis di artikel berbeda.
Kembali
ke NHW ke-3 di kelas matrikulasi. Berikut rincian NHW ke-3.
Surat Cinta untuk Suami
Surat. Menulis surat cinta bagi suami sebetulnya bukan
hal yang baru dan jarang saya lakukan. Suami saya pernah berkata, “Menulis
merupakan salah satu self healing dan
begitu pula menulis puisi.” Sejak mengenalnya di tahun 2007 lalu saat sama-sama
masuk ke Universitas Pendidikan Indonesia di jurusan dan kelas yang sama juga, saya
belajar mencintai menulis, khususnya menulis puisi. Entah sudah berapa banyak
saya dan suami saling bertukar puisi sejak itu. Puisi semacam surat dari
curahan hati kami. Dan sejak 2008 silam kami menjalin kasih, sejak itu pula
saya terbiasa mengirimi surat padanya. Surat tentang apapun. Melalui surat,
saya bisa mengungkapkan penuh bagaimana kondisi perasaan saya kala itu. Apa
yang saya harapkan dan apa yang ingin saya lakukan. Semua lebih mudah saya
komunikasikan melalui surat.
Pasalnya, saat mengungkapkan langsung perasaan, segala
bentuk emosi, ego, mimik muka, atau diksi bisa cenderung sulit terkontrol.
Alhasil bukan kesepakatan atau jalan keluar yang didapat, melainkan perdebatan.
Pada akhirnya, menulis surat juga bagian dari self healing.
Surat cinta kali ini sungguh berbeda. Bukan hanya
merupakan NHW, melainkan lebih dari perenungan diri tentang rasa cinta,
bahagia, kekecewaan, atau apapun dalam pernikahan. Ungkapan rasa yang selama
ini luput untuk diutarakan pada suami
terkasih. Surat tersebut ditulis dalam file terpisah.
Inti dari surat itu berisi perjalanan kisah kasih kami
selama lebih dari satu dasawarsa. Tak sedikit ujian kami lewati bahkan di usia
hampir satu lustrum usia pernikahan. Usia tersebut masih muda, namun ujian yang
kami jalani cukup untuk membuat kami banyak belajar tentang hidup dan makna
pernikahan. Sampailah pada saat awal bulan Februari ini kami menempuh
perjalanan ke Yogyakarta. Di sana kami menghikmati hidup dan kebersamaan. Kami
hanya ingin terus bersama dan bahagia apapun ujian yang kelak datang dalam
pernikahan kami. Kami hanya harus siap dan melewatinya bersama. Aamiin
Allahumma Aamiin.
Perjalanan Tubuh
:Reza Saeful Rachman
Masih ingatkah
kau?
Aroma kabut
menyeruak dari dinginnya air wudhu
Bibirmu
memanggilku seperti azan subuh—menghentikan
perjalanan kita
sejenak.
Kuraba bentuk
wajahmu yang masih sama seperti dasawarsa lalu.
Hanya
garis-garis matamu lelah sebab banyak cahaya silau dan ruang gelap
silih berganti
membuat pupil itu kembang kempis serupa kenangan
dan waktu
melajukan mimpi-mimpi ke arah asing—entah sampai atau tidak.
Jidatmu mulai
lebar
ubanmu kian
lebat.
Tak perlu lagi
banyak berpikir untuk hari ini saja, sayang.
Cukup duduklah di
sampingku, lajukan lagi roda mobil menuju tempat jauh.
Lupakan sejenak
berapa tikungan atau tanjakan telah dilewati
lupakan berapa
jam berlalu
seperti
orang-orang mengayuh sepeda dari Ambal hingga Brosot
hingga
sulur-sulur matahari terpantul di antara sadel dengan aspal.
Mereka mengayuh
tanpa menghitung berapa banyak urat juga
keriput
menggaris di kakinya.
Pada aliran
irigasi yang memanjang di tubuh Daendels
aku menemukan
kata-kata mengambang di arus air
dimainkan udara
dingin yang menyekap tubuh kita untuk berpelukan
mereka menjelma
sajak—mengalir ke muara Bantul paling rahasia—
tertulis di atas
kilauan pasir.
Ombak
melarungkan segala kegelisahan dan lagu sumbang.
Tawa kita
menyelinap di mimpi kanak-kanak.
Kita bangun lagi
istana kecil dan seorang anak telah tumbuh di dalam sana
menjadi laut
paling biru.
Kuhikmati
perjalanan panjang ini, sayang
tubuhmu adalah
labuhan paling kuat—kusebut surga
Bandung-Yogyakarta 2019
Surat cinta saya tulis pada hari Kamis, 14 Februari
2019. Suami membacanya sebelum ia tidur. Responnya, ia tersenyum dan hanya
berkata, “ I love you”. Ia lalu
mencium dan memeluk saya dan Zea. Sudah. Ya, tak lama ia meminta dipijiti dan
tertidur pulas. Ia tampak lelah karena hari itu ia pergi kuliah sejak langit
masih gelap dan kabut dingin masih menyelimuti rumah lalu pulang larut malam
saat jam menunjukkan pukul 22.30 usai mengajar kelas karyawan.
Esoknya, hujan masih mengguyur sejak subuh. Suami tetap
mandi dan bersiap kuliah. Sebelum pergi, ia menggendong Zea dan bercanda
sesekali di garasi rumah. Dalam perjalanannya pagi itu, ia mengirimi pesan berisi
kata-kata sayang dengan emoticon kiss.
Dalam hati saya, “Alhamdulillah”.
Hati manusia lebih dalam dari palung laut terdalam di
bumi ini. Di dalamnya, segala rasa, pertanyaan, dan pemahaman menggenang. Hanya
Allah saja yang mengetahui seperti apa rupa di sana. Maka, kita hanya mampu
khusnuzon dan menjalani semua dengan keihklasan. Ikhlas untuk bahagia.
Setelah peristiwa surat kemarin, suami saya sempat
berkata, “Mari kita jalan-jalan dan bahagia!”. Jadi, saya hanya berharap akan
ada benih kebahagiaan tumbuh di dalam diri kami masing-masing. Dengan rasa
tersebut, kita akan belajar memahami peran hidup, saling mengerti, saling
menjaga, saling bertahan, saling menguatkan, saling setia, dan saling…
“Aku adalah konsonan yang hampa tanpa vokal. Tak akan bermakna apa-apa
tanpa kehadiran ayah. Bukan saling melengkapi. Tapi saling memberi arti.
Kata-kata kelak akan lahir menjadi sajak paling puitis dalam rumah kita.”
Begitu penutup surat saya pada suami. Semoga kita tak
pernah berhenti belajar mengejar surga yang sesungguhnya. Masing-masing dari
kami adalah istimewa dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Kami
ditakdirkan berjodoh untuk menjalani ibadah rumah tangga bersama bukan tanpa
alasan. Saya sudah menjadi pilihan terbaik yang Allah beri kepada suami. Pun
sebaliknya. Suami dengan paket dalam dirinya adalah rejeki sekaligus amanah yang
memberi arti dalam hidup saya. Dalam perjalanan panjang ini, kita hanya harus
belajar jatuh cinta berulang kali pada orang yang sama, bahkan di saat jatuh,
lelah, bosan, jenuh, dan marah.
Wajah Anak
Dalam usia pernikahan yang hampir menginjak satu lustrum.
Alhamdulillah, puji syukur saya diamanahi tiga kehamilan. Hal yang patut
disyukuri mengingat banyak perempuan di luar sana mendambakan sebuah kehamilan.
Saya menikah dan pertama kali berhubungan suami istri saat menginjak masa subuh
sehingga Alhamdulillah, siklus haid setelah menikah tidak saya jumpai.
Dengan kata lain, saya langsung diamanahi kehamilan.
Rasanya saat itu kaget dan mungkin belum siap secara mental dan finansial.
Namun, puji syukur kehamilan anak pertama dapat saya lewati dengan ringan meski
penuh tantangan mengingat saat awal kehamilan saya masih bekerja menggunakan
sepeda motor dari Ujungberung ke daerah Cimahi, seperti Batujajar atau
Padalarang. Setelah berhasil mutasi ke wilayah Bandung Timur, saya melewati
kehamilan dengan naik turun lantai 3 dan promosi naik motor ke sekolah-sekolah
hingga saatnya melahirkan sambil terus menyicil dan menabung materi untuk anak.
Saya melahirkan anak pertama secara normal dibantu
bidan. Hal yang sangat disyukuri, meski setelah melahirkan saya hampir
menderita baby blues sindrom. Pasalnya, saya mengalami kesulitan meng-ASI-hi.
Payudara saya sedikit ASI dan beradarah dengan nganga luka yang menyakitkan.
Sakit pasca melahirkan semakin nyeri dengan banyak omongan dan pendapat
negatif dari orang sekeliling termasuk
orang tua saya kala itu. Padahal, saya terus berjuang ditemani suami
membesarkan anak berdua di rumah. Saya terus berjuang meng-ASI-hi dan
membesarkan anak yang pertama sambil membagi waktu dengan bekerja sebagai
pengajar hingga di usia hampir 6 bulan, aa Ghaisan berpulang kepada pemilik
abadinya, Allah Ta’ala.
Tak perlu saya deskripsikan bagaimana perihnya perasaan
kehilangan itu kami rasakan. Kini, kami belajar mengikhlaskan dan membagi
kenangan indah pada adiknya.
Kehamilan kedua terjadi setelah sekitar 9 bulan kami
berikhtiar dan saya melakukan terapi suli hormon. Qadarullah, saya kembali merasakan kehilangan karena janin yang
saya kandung tidak berkembang dan detak jantung yang sebelumnya kami dengar
menghilang. Di usia 12 minggu kehamilan, saya merasakan terbaring di kasur
operasi dan menjalani kuretase. Kami belajar ikhlas dan sabar untuk kesekian
kali hingga Allah kembali mengamanahi kehamilan ketiga. Bukan tanpa ujian. Awal
kehamilan, saya didiagnosa abortus
imminens dan hampir blighted ovum.
Kuasa Allah begitu luar biasa hingga akhirnya setelah melewati pembukaan 5 dan
induksi, Ghazea lahir dengan proses Sectio
Caesarea.
Pasca melahirkan kondisi fisik dan mental saya lebih
siap dari sebelumnya. Meski sama-sama harus berjuang meng-ASI-hi dengan kondisi
payudara yang berdarah-darah melebihi
sebelumnya. Saya lebih bersemangat.
Ghaisan Aqeela Rachman (Rahimahullah)
Ghaisan, adalah anak laki-laki yang luar biasa. Ia lahir
tanggal 24 Desember 2014. Banyak orang mengira ia adalah anak perempuan.
Barangkali karena wajahnya lembut dan murah senyum setiap kali ada yang
menyapanya. Ia termasuk anak yang mudah diasuh oleh siapa pun.
Sejak usia 3 bulan, saya
mulai bekerja kembali sehingga Ghaisan menghabiskan waktu di siang hari bersama
ayah atau neneknya. Sedih memang
menginggalkannya, tapi saya tetap berusaha membersamainya kala itu. Pergi pagi
setelah selesai meng-ASI-hi dan memandikannya. Setiap istirahat siang, saya
selalu menyempatkan pulang untuk kembali meng-ASI-hi. Ketika pulang saya dan
Ghaisan begitu bahagia. Biasanya kami bermain, bercanda, dan bonding. Kala itu, ia sedang senang
menjelajah banyak mainan, seperti mainan yang mengeluarkan bunyi. Ia senang
memainkan ludah dan mulai cerewet seperti bundanya.
Banyak yang bilang bahwa
Ghaisan anak yang ramah dan riang. Meski begitu, setiap saya bersin, Ghaisan
selalu menangis. Saya malah jadi terharu kalau dia nangis begitu. Ia anak yang
tidak rewel dan lebih anteng. Bermain di babybouncher,
duduk di car seat atau stroller, main mana pun, Ghaisan selalu
asik sendiri. Namun, kalau bertemu orang lain, ia tetap antusias.
Tak banyak yang bisa saya
ceritakan tentangnya. Yang pasti, ia termasuk anak yang kuat. Ia hampir jarang
sakit seperti adiknya. Sekalinya sakit, Allah mengajaknya berpulang pada 15
Juni 2015 di RS. Hermina Arcamik saat dhuha. Allah menyanginya amat sangat.
Kelak, saya berharap ia akan menjemput orangtua dan adik-adiknya ke surga
Allah. Aamiin Allahumma Aamiin.
Ghazea Raina Aqeela Rachman
Anak yang ceria dan aktif luar biasa. Begitulah Ghazea
atau biasa disapa Zea. Ia lahir pada 16 Juni 2017 di hari ke 21 bulan Ramadhan.
Ia diberi nama Ghazea Raina Aqeela Rahman. Alasan pertama, karena artinya,
“prajurit perempuan yang dan adik yang pintar dan pengasih”. Kedua, karena kami
tak ingin dia melupakan kakaknya dan secara tidak langsung kalau dalam bahasa
Sunda ‘Raina’ berarti ‘adiknya’.
Nama Ghazea semacam doa agar ia kelak menjadi anak yang
kuat dan tangguh layaknya prajurit perempuan di zaman nabi. Ternyata, kata
Ustadzah Frida, guru mengaji kami, kararter Zea sesuai arti namanya. Ia anak
yang sulit diam. Senang meng-explore
segala hal, mulai dari mainan, lingkungan, binatang, atau apapun di
sekelilingnya. Apalagi kalau ada hal baru, ia begitu excited.
Ia mampu menggunakan akal dan pikirannya dengan cerdas
saat melakukan aktivitas, misalnya saat akan menjangkau benda yang tinggi maka
ia akan mencari benda lain yang bisa ia jadikan pijakan. Saat ia pernah
merasakan terjatuh, terluka, maka ia akan mencari cara lain agar hal itu tidak
terulang seperti cara turun dari kasur, kursi, atau tempat lain. Ia senang
membongkar mainan seperti mobil-mobilan, boneka plastik, atau mainan lego yang
sudah disusun. Ia akan membaginya menjadi bagian-bagian kecil dan ia sangat
teliti.
Zea sangat senang main ‘anyang-anyangan’ semisal masak-masakan. Mainan atau benda apapun
yang ada disekelilingnya dapat ia jadikan mainan, sebut saja, pensil, buku,
jam, kotak, dus, botol, wadah-wadahan,
atau apapun. Alhasil, saya tidak perlu sering-sering membelikannya mainan
karena ia mampu berimajinasi dengan banyak benda di sekelilingnya. Ia sangat
mudah merasa penasaran.
Main air, begitu hal yang paling menyenangkan baginya.
Dalam suasana hati senang, sedih, ngantuk, kesal, atau tantrum, bermain air
mampu membuatnya riang. Mengamati hujan atau gerimis yang turun. Mengamati
mesin cuci yang berputar. Melihat kolam ikan di rumah kakek neneknya. Hal
tersebut membuatnya riang.
Sehari-hari Zea lebih sering menghabiskan waktu berdua
dengan bundanya dan jarang bertemu dengan orang lain. Namun, hal itu tak
membuatnya menjadi anak pendiam atau penakut saat bersosialisasi. Justru, saat
ia bertemu dengan anak-anak lain (di masjid, di taman, di mall, atau di mana
pun), ia begitu riang dan aktif. Meski, tak jarang ia malah membuat anak lain
menangis karena makanan atau mainannya ia rebut. Saya perlahan mengajarkannya
berbagi, tapi karena ia anak kecil satu-satunya di rumah sepertinya egonya
masih sangat tinggi.
Saat ini Zea sedang belajar melafalakan kata-kata,
menyanyi, berdoa, mengaji, berhitung, makan, dan mengenal tubuhnya. Di usia golden
age, masih banyak stimulasi yang harus diberikan. Memorinya masih sangat besar
lebih dari 1 tera. Masih banyak hal positif yang harus saya ajarkan. Ia sering
bertanya, “Apa ini?”, “Apa itu?”, “Kenapa?”, “Siapa?”, dan lain-lain. Kami
sebagai orang tua perlu memberikan jawaban dengan tepat dan bijak agar apa yang
kami arahkan tidak membuatnya salah mengerti.
Potensi dalam diri Zea sangat banyak, salah satunya
kemampuan bersosialisasi dan menganalisis. Secara umum, ia termasuk anak yang
kinenstetik. Bergerak membuatnya belajar banyak hal. Hanya saja, hal itu kerap
membuatnya menjadi anak yang mudah bosan. Kita sebagai orang tua harus
pintar-pintar mengajarkan hal-hal baru dan mengasah hal lama yang ia pelajari.
Kita juga harus lebih berhati-hati dalam mengajarkan dan melakukan apapun di
hadapannya karena Zea adalah peniru yang cepat. Semoga kelak semua potensi
dalam dirinya dapat dikembangkan dan dibimbing ke arah yang baik sesuai sunnah
rasul.
Tak banyak yang saya inginkan darinya, selain ia mampu
beradaptasi dengan lingkungan dan hidup menjalankan hidup sesuai Al-Quran dan
sunnah. Jika ia memiliki pondasi agama yang baik, kemandirian, prestasi, atau
apapun yang ia tekuni akan berjalan beriringan.
Tentang pendidikan, rumah tetap harus menjadi madrasah
pertamanya. Ayah bundanya adalah guru dan teladan pertamanya. Perihal
pendidikan formal, kami tentu ingin memberikannya yang terbaik sesuai
kebutuhannya dan karakternya kelak.
Potensi Diri
Lebih dekat dengan diri sendiri adalah maksud dari
bagian dalam NHW ini. Kadang saya merasa sudah mengenal diri sendiri. Pada
kenyataannya? Belum. Masih banyak hal yang membingungkan dari diri saya
sehingga masih perlu diasah dan mencari jati diri sebenarnya.
Saya merasa menyukai banyak hal. Menulis puisi, memasak,
berkerajinan tangan, menjahit, dan banyak hal lainnya. Saya suka ilmu sastra,
budaya, bahasa, psikologi, agama, alam, sosial, kesehatan, dan banyak ilmu
lainnya. Lalu apa fokus saya?
Menjalani kehidupan di dalam rumah dengan segudang
aktivitas, membuat saya harus (mau tidak mau, bisa atau tidak, suka tidak suka)
mampu melakukan banyak hal. Saya harus mampu menjadi juru masak, tukang
laundry, tukang kebun, penjahit, dokter, perawat, guru, satpam, guru mengaji,
ahli keuangan, nanny, tukang pijat,
artis, badut, psikolog, dan banyak keahlian lain bagi anak dan suami.
Semua hal tersebut menjadi menarik bagi saya untuk
dipelajari agar menjadi ahli yang dibutuhkan di dalam rumah. Harus serba bisa
dari urusan besar sampai urusan kecil seperti ganti gas dan galon air minum.
Sejak kecil, saya terbiasa melakukan banyak hal sendiri.
Pernah tinggal dan dibesarkan oleh kakek nenek pekerja keras. Dari mereka, saya
pertama kali menyukai memasak, meski awalnya hanya membuat comro dan wajit.
Sedangkan orang tua saya termasuk orang yang cukup otoriter untuk masalah
pilihan dan saya orang yang keukeuh
dengan pendirian sendiri. Saya sering belajar memasak pada asisten rumah tangga
di rumah waktu kecil atau melihat mamah memasak. Saya senang belajar menjahit
karena melihat bapak dalam aktivitas di konveksinya. Saya senang menulis karena
merasa tak memiliki tempat curhat paling rahasia dan melegakan selain buku dan
pulpen. Untuk beberapa hal yang masih belajar memahami keinginan orang tua dan
mengikutinya bila baik, tapi untuk masa depan saya memilih untuk yakin pada
pendirian saya. Buruk tidak buruk, cukup bertanya dan minta dipilihkan yang
terbaik oleh Allah. Semisal, masalah pilihan teman hidup dan pendidikan.
Orang tua saya sangat menginginkan anaknya menggeluti
bidang bisnis atau ekonomi, sedangkan saya bukan orang yang suka berhitung.
Saya tetap menghormati keinginan mereka dengan memasukan jurusan Ekonomi
Pembangunan dalam salah satu pilihan
saat SPMB selain Bahasa dan Sastra Indonesia yang saya inginkan saat itu. Saya
juga lolos seleksi jurusan Akutansi di PTS. Namun, Allah begitu sayang pada
saya dan lebih tau yang terbaik buat saya. Alhamdulillah saya lolos SPMB
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI 2007 lalu dan lulus di tahun 2011
dengan predikat Cum Laude sebagai
mahasiswa berprestasi tingkat Fakultas dan mahasiswa lulusan terbaik tingkat
Universitas kala itu . Bukan hal yang cukup membahagiakan bagi orang tua saya
mungkin. Mereka lebih bangga melihat adik saya lolos masuk jurusan Manajemen di
PTS karena bersangkut paut dengan urusan bisnis dan ekonomi (barangkali)
dibandingkan menyaksikan saya menulis puisi atau berpidato saat wisuda di
hadapan semua civitas akademik. Wallahu’alam
.
Yang pasti, saya mencintai bidang saya dalam bahasa dan
sastra. Saya menyukai menulis puisi. Puisi sebagai self healing juga bagi saya. Puisi sudah banyak mengajarkan saya
tentang kehidupan dan makna di dalamnya. Puisi pernah juga membawa saya
menjelajah banyak tempat saat Temu Sastra MPU di Surabaya, Pertemuan Penyair
Nusantara di Jambi, atau puisi saya yang mampir ke daerah lain di Indonesia,
seperti Aceh, Tasikmalaya, atau lainnya.
Sebetulnya bukan hanya menulis puisi, menulis esai atau
menulis apapun seperti curhatan juga saya suka. Hanya saja, saat ini mengurus
aktivitas di sektor domestik sebagai pelayan terbaik baik suami dan anak cukup
menyita waktu dan energi. Kemampuan manajemen waktu dan diri yang amat buruk
membuat saya sulit memiliki waktu me-time
untuk menulis, bahkan meski untuk menulis satu puisi saja. Terakhir kali
berkarya saat mengisi prosiding Seminar Tahunan Linguistik Internasional UPI
tahun lalu. Itu pun atas semangat, dukungan, dan bantuan Ibu Sri Wiyanti, dosen
pembimbing saya. Yang disayangkan saya tidak bisa tampil menjadi pembicara di
acara tersebut karena pemulihan pasca dirawat di rumah sakit.
Jadi, passion
dalam menulis saya cukup besar. Apalagi berkat NHW di kelas matrikulasi IIP
ini, saya dibangkitkan lagi untuk menulis dan menjadi semacam paksaan yang
menyenangkan. Menulis seperti juga passion
memasak.
Hal itu membuat saya pernah membuka layanan katering
harian bernama Raidailykitchen yang menyediakan makan siang dengan menu
variatif dan pemesanan masakan seperti Nasi Tumpeng atau Ikan Mas Pindang.
Usaha tersebut saya rintis sejak tahun lalu dan kini mulai vakum seiring
keaktifan si kecil yang mulai harus selalu saya bersamai. Saya mengelolanya
sendiri karena di rumah memang hanya kami bertiga. Suami yang sibuk, hanya
mampu membatu di waktu weekend
sehingga saya putuskan untuk sementara hanya menerima pesanan masakan saja.
Dari semua hal dan aktivitas, pada intinya saya senang
belajar. Belajar apapun selama waktu, situasi, kondisi, keuangan, dan
lingkungan mendukung. Saya senang mengikuti seminar parenting, kesehatan, atau
kajian Islam karena kebutuhan saya. Kekurangannya, saya sudah mulai kesulitan
mencatat setiap ilmu yang saya pelajari. Hanya mengandalkan ingatan dan memori
pikiran yang makin lemah dan kecil. Anak yang aktif ke sanasini saat saya ajak
ke acara adalah alasannya. Saya belum pandai mengatur diri dan belajar
mengendalikan di kecil yang sedang asik menjelajah itu.
Untunglah, saya memiliki suami yang juga memiliki passion hampir sama dengan saya sehingga
kami bisa saling mendukung, mengingatkan, menyemangati, dan membantu. Tentu,
kehadiran suami bagi saya sudah anugerah dan orang yang tepat untuk memahami
segala kekurangan saya. Anak pun demikian. Ia membuat saya melatih kualitas
diri. Utamanya dalam mengelola emosi dan mengasah kemampuan mengajar saya.
Meski sudah tidak lagi berprofesi sebagai pengajar bagi siswa SD dan tidak lagi
membuka kelas privat dan calistung di rumah, saya tetap bisa menjadi guru
seumur hidup bagi anak saya.
Yang pasti, kelak setelah mengikuti pembelajaran di IIP,
saya bisa kembali aktif mengembangkan potensi dalam diri saya untuk
kebermanfaatan di dalam rumah dan untuk masyarakat sekitar. Bukan potensi besar
barangkali di tengah banyaknya kekurangan dalam diri saya, hanya saja hal kecil
sekalipun bila saya bagikan akan terasa lebih berarti.
Kadang, banyak aktivitas yang hal yang menarik dalam
hidup saya membuat saya kurang memiliki kecintaan terhadap yang saya lakukan.
Mungkin hanya sebagian hanya sebatas kewajiban. Saya berharap bisa menanamkan
kebahagiaan pada diri sendiri agar kebahagiaan itu terlutar ke luar diri.
Seperti ilustrasi di atas, saya harus mampu memahami,
mengembangkan, dan menanamkan kebahagiaan dari dalam diri sendiri. Membangun
aktivitas dan hal positif di dalam rumah sehingga berpengaruh pada lingkungan
masyarakat. Hal itu yang kelak akan melahirkan sebuah peradaban yang
berkualitas. Kebayang kan jika kualitas diri dan rumah buruk ditambah
lingkungan yang tidak mendukung, akan seperti apa peradaban yang lahir kelak?
Lingkunganku
Sejak kecil saya besar di daerah Cibeureum Cimahi di
lingkungan yang ramai dan padat sehingga besinggungan dengan setiap manusia
dari berbagai latar belakang. Sangat berbeda dengan lingkungan saat ini. Kini
saya tinggal di daerah Bandung Timur bersama suami dan berdekatan dengan tempat
tinggal mertua. Lingkungan di sini tidak sepadat dan seramai di Cimahi.
Masyarakat di sini lebih individualis dan lebih sering berkomunikasi lewat WA
Grup atau sesekali berjumpa saat arisan atau berkumpul. Aktivitas dan pekerjaan
masing-masing yang sibuk membuat sosialisasi sedikit berbeda.
Saya hanya bersosialisasi sesekali. Saya lebih rutin
bertemu dengan ibu-ibu muda di kajian Islam di masjid komplek belakang. Saya
bersosialisasi hanya dengan beberapa tetangga dekat. Apalagi saya juga tidak
mengikuti arisan karena alasan keyakinan sehingga semakin jarang bertegur sapa.
Masyarakat di lingkungan ini berasal dari latar belakang
yang beragam, mulai dari perawat, dokter, apoteker, tentara, koki, guru, PNS,
dan lainnya. Sebetulnya banyak hal yang bisa digali dan dikembangkan. Kurangnya
motivasi, inisiatif, dan wadah dari diri kami masing-masing menjadi kekurangan
dan hambatan yang terdasar, termasuk dari diri saya.
Hal itu membuat saya lebih belajar di luar lingkungan
tetangga rumah. Mengikuti kajian rutin setiap Selasa di masjid belakang,
membuat saya belajar lebih dalam tentang agama dan hidup. Saya kembali
diingatkan masalah ibadah dan utamanya sedekah. Di sana, setiap Jumat ada
kegiatan Jumat berkah yang diisi dengan membagikan nasi box pada masyarakat
sekitar yang membutuhkan atau juga diisi dengan warung sedekah, cek kesehatan,
dan perpusatakaan keliling.
Sehari-hari saya lebih banyak menghabiskan waktu di
rumah. Di hari libur kami bermain ke rumah mertua dan membantu berjualan ikan
mas. Di sana, kami lebih merasakan bersosialialisasi dengan banyak pembeli dari
banyak latar belakang hidup.
Sejujurnya, saya masih perlu memahami alasan saya dan
keluarga di hadirkan di lingkungan saat ini. Pemahaman hidup dan keyakinan kami pada agama dan sunnah pun mungkin
berbeda-beda. Ini menjadi tentangan besar. Kami dituntut lebih pandai
berkomunikasi dan menciptakan wadah komunikasi bagi anak-anak hingga orang tua.
Mungkin kami dihadirkan sebagai sosok
muda yang mencoba membuat warga di lingkungan ini lebih terintegrasi. Suami
pernah bercerita bagaimana dia membuat suasana rapat lebih hidup dengan banyak
menyisipkan humor karena suasana yang begitu dingin. Selain itu suami juga
pernah bercita-cita (sebagai pengembangan dari rumah belajar yang pernah saya buat) adalah membuat taman
bacaan masyarakat atau rumah belajar masyarakat yang mungkin awalnya mengajak
anak-anak di lingkungan ini untuk terintegrasi untuk kemudian menjadi sarana
untuk para ibu belajar mengenai hal-hal baru dan kemudian dijadikan sebagai
wadah bagi para ayah untuk turut bergabung pula. Saya dan suami berharap tempat
ini akan menjadi wadah untuk pemberdayaan masyarakat yang berawal dari
lingkungan ini saja untuk kemudian berkembang ke wilayah yang lebih luas.
Sehingga tak hanya rumah , tapi lingkungan saya pun muncul sebagai lingkungan
pemberdaya dan pembangun peradaban masyarakat.
Di waktu mendatang, semoga semua tantangan ini bisa
dihadapi seiring peningkatan kualitas diri dan rumah kami sendiri. PR terbesar
adalah membenahi diri sendiri dan keluarga agar kami keluar dengan penularan
kualitas yang baik pula.
Bandung, Februari 2019
*sumber dari materi ke-4 "Membangun Peradaban dari dalam Rumah" kelas Matrikulasi Institut Ibu Profesional
Komentar