Modal dan Solusi untuk Menjadi Changemaker, Perlukah?




Bunda Agen Perubahan

Rasanya baru kemarin masih berada di bulan Januari, awal tahun 2019 ini. Rasanya baru kemarin masuk ke dunia Institut Ibu Profesional melalui kelas Foundation dan mendapat suntikan semangat belajar yang sangat luar biasa. Tak lama kemudian dengan persaingan ketat lolos ke kelas Matrikulasi.
Kelas Matrikulasi membuka segala cakrawala berpikir dalam kepala dan hati saya tentang banyak hal, khususnya ihwal fitrah, peran, dan misi hidup. Sejak awal, saya diajak mengenali tubuh dan rumah sendiri. Setelah mengenalinya, saya mulai menemukan misi hidup, menyusun roadmap pembelajaran yang di dalamnya termasuk checklist indikator, menentukan kuadran aktivitas, dan menjelajahi konsep be-do-have-give. Hampir sampailah kita ke dermaga matrikulasi setelah berlayar hampir 9 minggu lamanya.
Di akhir pembelajaran kita diingatkan bahwa pada akhirnya kitalah agen perubahan masa depan. Agen perubahan peradaban. Mengapa? Ingat, mendidik satu perempuan berarti mendidik satu generasi. Semua diawali ketika sesungguhnya bunda adalah madrasah pertama bagi anaknya.
Perubahan seperti apa yang dilakukan bunda? Perubahan yang berawal dari membenahi dan meningkatkan kualitas diri untuk membangun sebuah keluarga yang tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan perannya. Melakukan perubahan kecil dalam dirinya untuk tak pernah lelah dan puas menjadi seorang pembelajar yang mampu merespon setiap hal dengan baik dan bijak. Perubahan kecil itu dilakukan dengan konsistensi hingga menjadi sebuah good habit.

Social Venture

Social venture diartikan sebagai usaha yang didirikan oleh seorang social entrepreneur baik secara individu maupun organisasi yang bertujuan untuk memberikan solusi sistemik untuk mencapai tujuan sosial yang berkelanjutan. Social entrepreneur sendiri adalah orang yang menyelesaikan isu sosial di sekitarnya menggunakan kemampuan entrepreneur.
 Social venture dibangun oleh dua hal, yakni empati dan passion. Berikut adalah gambaran social venture yang saya buat setelah melewati kontemplasi NHW-NHW sebelumnya.
Social venture yang pertama dibuat berdasarkan passion saya pada dunia literasi khususnya menulis dan dunia edukasi. Modal skill yang saya miliki mampu menjadi ide sosial (solusi) atas isu sosial, yakni sulitnya ibu atau orang tua dan anak-anak dalam mengakses fasilitas belajar umum di sekitar daerah saya. Sekolah memang ada. Perpustakaan desa juga ada, tapi kurang tersosialisasi. Kesibukan para orangtua dalam bekerja memungkinkan anak hanya mendapat akses informasi dari sekolah dan gawai atau perangkat elektronik.
Perjalanan NHW selama ini mengarahkan saya untuk memperdalam ilmu menulis dan ilmu pendidikan serta parenting. Saya merasa dengan mengaktifkan blog, menulis sebuah karya, dan membuat sebuah rumah belajar dapat memberikan akses informasi kepada orang lain.
Rumah belajar yang dimaksud adalah sebuah tempat semacam perpustakaan kecil dengan beberapa kegiatan rutin, seperti kajian Islam, sosialisasi suatu hal, pelatihan menulis, pelatihan memasak, playdate anak-anak, atau kegiatan lainnya. Semacam tempat sharing dan caring maksudnya.
Masih ingat dengan NHW #3 perihal mengenali maksud kita dihadirkan di lingkungan ini? Nah, rumah belajar sekaligus dapat menjadi salah satu solusi menyelesaikan masalah komunikasi masyarakat sekeliling saya yang terkesan individual.
Apakah bisa segera saya buat rumah belajar? Tentu tidak, prosesnya mungkin lama. Saya harus menyediakan sarana dan prasarana terlebih dahulu, menyelesesaikan prioritas utama dalam membangun keluarga dan rumah yang sesungguhnya, seperti dalam ilustrasi yang saya buat di NHW#3.
Selanjutnya, social venture kedua berdasarkan passion saya terhadap aktivitas memasak. Sejak tahun lalu saya membuat sebuah katering harian dengan menjual masakan rumahan. Namun, sempat vakum sejak prioritas utama dalam mendidik anak mulai menjadi fokus utama. Hingga saat ini. Saya berharap setelah mampu membenahi rumah dan membangun keluarga yang baik, saya dapat kembali mengaktifkan skill memasak saya untuk melayani lingkungan. Mengapa memasak? Mari kita tengok ilustrasi berikut.
Beberapa tahun ini, saya mengalami kondisi kesehatan yang buruk sehingga mengharuskan saya membenahi pola hidup dan pola makan yang lebih sehat. Seperti diet lemak, diet minyak, atau pengurangan gula dan karbohidrat. Lalu, saat menengok lingkungan, rasanya beberapa tetangga pun sudah saatnya melakukan pola hidup sehat. Salah satunya melalui menu makanan. Apalagi, beberapa kesibukan ibu-ibu yang menjadikannya tak sempat atau malas memasak membuat makanan instan dan membeli makanan siap saji yang belum tentu kadar kesehatannya sebagai salah satu solusi.
Kondisi tersebut berpengaruh pada pola makan anak-anak mereka, khusunya anak yang masih dalam tahap MPASI. Di daerah saya memang sudah banyak tempat-tempat yang menjual makanan siap saji. Ada juga yang menjual bubur bayi. Namun, tak semua dapat mengaksesnya dengan mudah. Itulah alasan saya memunculkan ide sosial untuk sosialisasi pola hidup sehat dan menu sehat melalui katering MPASI dan makanan sehat.   

Modal Changemaker

Menjadi seorang agen perubahan atau changemaker atau agent of change bukanlah perkara mudah. Banyak hal dibutuhkan, seperti tergambar dalam ilustrasi berikut.
Sebelumnya telah dipaparkan mengenai social venture sebagai hasil dari penggabungan antara passion dan empati. Setelah saya memahami dan mempelajari NHW sebelumnya, sebuah perubahan diperlukan banyak modal. Yang pertama, menentukan skala prioritas. Bagi saya utamanya menjadi seorang ibu profesional yang membangun baiti jannati. Menikmati passion kita. Konsisten mengisi checklist indikator dan melaksanakan roadmap. Menjadi ibu produktif. Menanamkan empati terhadap lingkungan di luar dirinya. Merasakan kebahagiaan dalam peran yang dijalani.
Alhasil, semua itu akan menjadi sebuah kebiasaan yang membentuk habitus. Habitus dalam hal ini diartikan sebagai karakter dan cara berpikir seseorang berdasarkan kecenderungan-kecenderungan alamiah dan menmbentuk daya pembelajar dalam dirinya. Jadi, simple-nya sebuah karakter dan cara berpikir yang buruk akan menimbulkan habit dan kehidupan yang buruk pula. Jangankan bagi lingkungan, bagi diri sendiri pun akan menimbulkan budaya hidup yang buruk.
Nah, produktivitas yang positif dan dilakukan dengan konsisten akan memunculkan habitus yang baik. Hal itu akan bepengaruh pada diri sendiri, keluarga, dan budaya di masyarakat. Itu juga sekaligus menjadi tonggak perubahan seorang changemaker. Siapkah kita menjadi bunda agen perubahan?
Bandung, Maret 2019

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Etem” Tradisi Keindahan Memotong Padi

KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM “DARI RADEN AJENG KARTINI UNTUK MARIA MAGDALENA PARIYEM” KARYA JOKO PINURBO

ANTOLOGI PUISI 100 PENYAIR PEREMPUAN KPPI